Jumat, 27 November 2009

Kurelakan Alsya Pergi ...



Semua berawal dari tabiat mas Nanang yang suka main tangan kalau cemburunya kumat. Sedah sejak masa pacaran dulu, dia suka marah-marah ke aku. Rasa cemburunya kepadaku sangat besar. Inikah gerangan cinta, ataukah aku buta poleh suara merdu mas Nanang yang berprofesi pengamen?

Yang jelas hubunganku dengan mas Nanang sudah ditentang bapak ibu dan semua saudaraku bahkan sejak aku pacaran. Kalau kupikir-pikir alasannya masuk akal juga. Mas Nanang suka mabuk-mabukan dan badannya penuh tatoo. Untuk itu aku yang masih berusia 17 tahun, kawin lari dengan mas Nanang yang berpaut 7 tahun, dengan nikah siri. Sejak kenekatanku itu, keluarga lepas tangan dan tidak mau tahu semua perkara yang menimpaku.

Sejak kujalani bahtera rumah tangga bersama mas Nanang, hampir tiap hari kami bertengkar. Ujung-ujungnya tangan mas Nanang yang bicara. Alasannya bukan soal keuangan. Cemburu pada suami kakakku.

Menurutku, ceburunya sangat tidak jelas. Betapa tidak, selama dua tahun menikah setelah ia berangkat ngamen jam 7 pagi, mas Nanang selalu menyuruhku untuk mengunci diri dalam kamar kos di lantai dua di Kendung Mangu 31, milik bu Maryam. Lagipula aku takut bertemu laki-laki lain. Jadi ya kuturuti saja. Dengan kondisi ini, aku jadi tidak mengenal tetanggaku selain yang di kos-kosan.

Aku masih ingat pertengkaran hebat itu. Rabu dini hari 25 November 2009 setelah mas Nanang pulang ngamen dan pesta miras dengan teman-temannya sesama pengamen.

Seperti biasa mas Nanang menutup kamar tiap bertengkar dengan aku. Sambil kudekap Elsya, aku yang sudah tidak tahan dengan pukulan dan tamparannya, merintih minta tolong karena tidak tahu lagi harus apa. Mbak Dewi dan bu Supa’ati, tetangga kos, sebenarnya ingin mencoba menolong tapi tidak bisa masuk karena kamar dikunci mas Nanang.

Tapi akhirnya aku berhasil kabur dari kamar dan segera turun ke bawah. Kebetulan ada becak yang melintas, lalu kuminta pak becak itu untuk melesat ke kawasan Karang Empat, ke rumah kakakku. Aku berencana mengungsi ke sana.

Seperti disambar petir, tiba-tiba becak yang kutumpangi terguling. Sebelumnya memang kudengar teriakan mas Nanang yang tampak kalut luar biasa. Dia menyuruh pak becak untuk berhenti. Suasana saat itu memang mencekam dan seram.

Mas Nanang lompat dan mengerem becak, lalu menarik kemudi bencak. Kontan becak yang kutumpangi terguling.

Tangis Alsya yang baru berumur 1 bulan di dekapanku tiba-tiba hilang. Kepala mungil Alsya terhimpit badanku yang terjatuh dari becak dan langsung bertatapan dengan aspal jalanan. Seketika itu pula nafasnya tersengal-sengal dan kejang. Tangisnya mendadak hilang. Bola matanya membalik dan perlahan tubuhnya meregang. Alsya pergi dalam dekapanku di malam yang ngilu itu.

Di keremangan malam, beberapa bagian tubuhnya tampak memar, terutama lengan mungilnya. Yang membuat aku hancur jadi serpihan adalah tempurung kepalanya pecah karena tertimpa badanku. Kata dokter forensik di RSUD dr Sutomo, Alsya meninggal karena kehabisan nafas akibat tekanan yang hebat. Kepalanya yang pecah juga menjadi sebab utama kematiannya.

Sakit hatiku makin meradang waktu mas Nanang memintaku untuk mencabut laporan KDRT yang kusampaikan pada polisi di Polsek Kenjeran. ”Dik, lepehen laporanmu ben aku iso bebas,” kata mas Nanang seolah tanpa beban.

Gak sudi! Aku wis gak mikiri awakmu. Aku mikir anakku. Arep tak makamno nang ndi? Aku gak duwe duwik,” jawabku ketus

Awalnya aku agak risih waktu beberapa wartawan berusaha mengambil gambarku dan menanyaiku secara bertubi-tubi, ketika aku keluar dari ruang penyidik. Langsung saja aku ngeloyor pulang jalan kaki nyeker, dari polsek ke kos-kosanku.

Setelah aku mandi dan menenangkan diri di kos, tiba-tiba aku dikagetkan dengan kedatangan beberapa orang yang tidak aku kenal. Mereka datang membawa sejumlah uang dalam amplop. Aku heran bercampur gembira. Heran karena tidak tahu apa yang terjadi, dan dari mana orang-orang itu tahu kalau aku memang butuh uang untuk pemakaman Alsya.

Gembira karena Alsya bisa segera kujemput untuk kumakamkan. ”Allahu akbar! Alhamdulillah” seruku dalam hati.

Tak lama, beberapa wartawan yang tadi mengejarku di polsek datang ke kos-kosanku. Entah mengapa sekarang aku agak bisa menerima kedatangan mereka. Mereka bertanya tentang kronologis kejadian dini hari tadi sampai mengenai tabiat mas Nanang. Semua kuceritakan secara gamblang. Termasuk sikapku yang bersyukur atas penahanan mas Nanang oleh Polsek Kenjeran. Dari situ terkuak penjualan Elsya oleh mas Nanang.

29 Oktober 2009, saat usia Elsya sudah menginjak 1,5 tahun. 21 hari setelah kelahiran Alsya di RSUD dr Suwandhie. Aku menyetujui ide mas Nanang yang akan menitipkan Elsya ke tetangga depan kos. Di rumah tetangga itu, kami disuruh tanda tangan di selembar halaman kosong dalam sebuah buku tulis. Secara lisan, kami disuruh berjanji tidak akan mengambil Elsya untuk selama-lamanya.

Belakangan baru aku tahu kebejatan mas Nanang yang menerima uang Rp 1.000.000,- dari orang itu. Sampai sekarang, aku tidak pernah melihat wujud uang itu apalagi membelanjakannya untuk keperluan rumah tangga.

Apalagi di tivi dan koran, mas Nanang bilang kalau uang itu untuk biaya persalinan Alsya. Mas Nanang kelihatan bohongnya. Padahal di juga tahu kalau biaya kelahiran Alsya memakai Jamkesmas yang berarti gratis.

Tapi ternyata mas Nanang lebih menyintai uang itu ketimbang keluarganya. Secepat kilat uang sebanyak itu dihabiskan untuk pesta miras bersama teman-temannya.

Dengan uang sumbangan dari sejumlah warga Surabaya, akhirnya aku bisa menjemput jenazah Alsya di ruang jenazah RSUD dr Sutomo dan memakamkannya di makam Rangkah Besar. Aku masih cukup tegar waktu menerima jasad Alsya yang sudah dikafani dari petugas kamar jenazah. Bahkan aku masih bisa menjawab beberapa pertayaan wartawan di kantor makam sembari menunggu makam digali.

Tapi hatiku kembali hancur saat jasad mungil Alsya diturunkan ke makam. Apalagi waktu pak modin membacakan adzan dan doa. Aku tak kuasa menahan air mataku. Di makam, cuma bu Supa’ati yang menemaniku. Aku hanya bisa jongkok sambil berlinangan air mata membayangkan wajah ganteng Alsya di makam yang sudah ditutup tanah itu.

Besoknya aku kembali kedatangan beberapa tamu. Di antaranya mas Sholeh yang mengaku berprofesi pengacara. Dia berniat memberi pendampingan hukum secara gratis sampai Elsya kembali ke pelukanku. Tak lama kemudian, aku kedatangan mbak Laily dari Kelompok Perempuan Pro Demokrasi, KPPD. Dia juga berniat memberi pendampingan. Setelah tunggakan kos sebesar Rp 220.000,- kulunasi, dan berpamitan dengan semua tetangga, aku memilih mengungsi ke shelter KPPD.

Meski aku buta hukum, tapi aku bertekat untuk merebut kembali Elsya ke pelukanku. Mungkin secara hukum aku tidak bersalah karena saat tanda tangan, tidak ada tulisan apapun dalam perjanjian itu. Lagipula aku dalam tekanan ekonomi dan mas Nanang yang suka main pukul.

Tapi di hadapan Tuhan, aku pastilah ibu yang sangat berdosa besar sampai tega menjual anakku sendiri. Inilah upaya penebusan ibumu, Elsya, anakku. Aku bertekat akan kembali mendapatkanmu. Aku berjanji untuk mengumpulkan serpihan keluargaku yang berantakan. Sambil ditemani tangan Tuhan yang pasti menggandengku.

Tiap malam aku masih sulit tidur. Wajah tak berdosa Alsya terus menghampiriku seolah tak mau lepas dari pelukanku. Apalagi sosok Elsya yang tengah dikuasai orang yang tak aku kenal. Wajah kedua anakku terus membayang.

Kalau aku ingat kembali peristiwa itu, Alsya sepertinya sengaja menjadi tamengku agar aku tidak terluka kena aspal. Supaya aku selamat. Bayiku mengorbankan jiwanya sendiri supaya aku selamat. Tidak ada kasih yang lebih besar daripada cinta seseorang yang hingga rela mengorbankan nyawanya sendiri untuk orang lain.

Untuk sebuah rencana besar. Supaya aku bisa berjuang mendapatkan kakaknya lagi. Supaya Elsya kembali dalam dekapanku. Supaya aku bisa membesarkan Elsya yang telah dijual mas Nanang. Supaya Elsya tidak sepertiku kelak. Supaya hidup Elsya lebih bahagia dan jauh lebih mulia.

Selamat jalan anakku, Alsya. Aku merelakanmu. Doaku, semoga kamu jadi malaikat paling ganteng di surga, dan jadi malaikat yang melindungi semua bayi di seluruh dunia. Amin.

Tidak ada komentar:



Robin Moyer pada 1982 memotret beberapa jenazah pengungsi Palestina yang dibantai di Beirut, Lebanon.
jika hati bergetar,
andai darah mendidih,
rangkai kata kunanti
pada puisilombok@gmail.com