Minggu, 28 Desember 2008

MERAJAH DARAH



Surabaya, 22 Desember 2008

Sebatang hari kumelayang di dunia berjuta nuansa
Manjakan jemari puaskan nikmati kembang bermekar
Berbaju nafsu berdecak jantung ujung lidah

Pelan aku merambat rayapi jelujur tubuh
si kembang di jauh

Gerayang jemari lentiknya merasukku
Tak kuasa menetes aku berliur
duduk tenang tiada
nafas kubertahan
panas menyeruak lutut ke ujung dahi kepala

Yakin aku si kembang kegelian pula
Vibrasinya ketara terasa saat dilaju teras maya
Sengal birahinya tercium meski berkilo meternya
Aroma desahan diujarnya
Resah!
Nafas kembang sudah basah

Segera kuhentak dering di sana
Suara lentik mirip kutahu
Kini darahku menyulut-nyulut
Degub-derab jantung berpacu birahiku
Rayu mengalun mengecup halus
lembut meraba tiap jengkalan
membangkit memerah kobar dengus asmara
jilatan api membahana pusaran gelora

Kupacu kuda henti tak
Angin kuhempas sorot menggila
Bertalu hasrat menggebu nyala matahari

Cepat bersarang pada ruang bersejuk
Kuluruh dulu debu muka di tangan pada kaki kuseka
Menunggu kembang bertandang
Tak ada tenang birahi gemuruh

Kala hening riuh bertalu
Waktu detik terjeda
Ketuk lembut aroma penuh nafsu
Menohok genderang telinga

Gejolak bangkit menggelegar
Tapak menelapak perlahan
Detum kencang jantung memompa
Ketika kaki menapak

Kutunggu ragu hendakkan raih kembang
Kupastikan dulu tirai buka

Mata siaga menyalak!
Hati tiba pecah tiba buyar
Lutut ini seperti meretas lepas persendi
Ingin kupancung
Meledak kepalaku mestinya ini
Baiknya kuhunus pedang dalam dadaku saja
Hancur kusaksi sendiri
Tak mungkin pastinya bercinta nafsu mengulum birahi dengan


adik sendiri

Kamis, 25 Desember 2008

SATE SUGENG BERANTAKAN

Surabaya, 25 Desember 2008

Uang ini sudah disimpan rapi dari 2 purnama lalu
Mereka hendaknya mau ganyang sate ayam pesta nikmat
Aku tahu ini

Sugeng tengah baya mengayuh rengat sepedanya keliling Surabaya mendidih
Melotot kotakan biru kuning,
melongok ban kuping depan pagar,
menyelam pada debu bunga jalan
Aku tahu ini

selembar, selumbar, sebiji, setali, segebok, selonjor, seikat, sekarung, segunung
Itu kardus bersanding ini gelombang seng
Seikat botol plastik setali koran renta
Sekoli sepeda karat bertumpuk sepatu sol terhias debu
Satu tetes seribu Sugeng simpan di kaleng
Dua teguk puluh ribu untuk kaleng
Gelintiran bebutir ratusan kepada kaleng saja
Aku tahu ini

Sugeng sekawan sepakat tunda nasi bertautan lauk
sekelompokan Sugeng yakin mau pertahan lapar sedikit lama
Aku tahu ini

Ini malamnya mereka yang tunggui sekala dua kali rembulan bundar lalu
Sugeng lengkap baru saja berlutut pada teras Agung
Sugeng bergandengan menyila Sang Segala bertandang
Sugeng dan kelengkapannya beria bahagia in malamnya
Aku tahu ini

Mereka kekasih itu Raja bersenda menyusur jalan gurau menerang malam terkudus
Para Sugeng mampir jenak pada bakul sate ayam terlezat di sebelah di pertigaan di jalan
Beli 20 sate ayam lelumur kacang giling berkecap enak
Tambahannya 4 nasi putih baru masak, bersalut daun pisang harum
Sugeng-Sugeng kembali canda iringi tapak pulang
Aku tahu ini

Sejalur itu, lajur orang berjalan
Luncur maha gajah limbung agaknya menyerta
Berdecit hiasi saling silang upaya menjejak
Tiada bisa daya, tiada bisa upaya, tiada bisa hela
Aku tahu ini


Para Sugeng!
Ditampar maha gajah dari selatan
Tertumbuk bebatu gemercik
Digilas maha aspal jalan raya
Tergiling raja roda sepuluh

Jejerit kaget massa gelimpang
Meraung lolong sekawan sekitar
Menghardik dasyat gagap

Tak nampak lagi yang Sugeng
Tak beda lagi mana 2 anaknya cinta
Tak nyata pula istrinya terkasih
Kececeran jua otaknya
Hambur ruah darah dan limpa
Rombak pula jenjang kaki lentik jemari
Mmeburai hebat relung dada
Porak wajah poranda bokong
Bukan lagi mandi darah,
samudra merah air bah
Satenya ayam enak berantakan

Pestanya hening bertabur damai
Malam ini kudus sungguh
Malam ini suci benar
Sugeng barusan mohon damai hati tulus
Berjuang hidup pada karang culas
Aku pengantar para Sugeng sowan Sang Maha
Aku jagai Sugeng-Sugeng jalan bertamu di rumah Maha Damai
Aku kawalkan Sugeng istri 2 anak jadi warga Damai Surga

Aku tahu ini

Selasa, 16 Desember 2008

AKU BENCI NATAL


Surabaya, 25 Desember 1999

Perang itu terjadi lagi sesaat hampir menjelang
kami semua harus berangkat ke pesta ulang tahun seorang Sahabat.

Perlombaan memaki dimulai lagi.
Petandingan hujatan tak terelakkan.
Perabot beterbangan melintas di atas kepala kami.
Meja berdentum keras digempar angkara.
Kursi-kursi makan tak elak lagi berserak serpih.

Lemari pajangan binasa ditendang kepingan kaca berhambur.
Kipas angin di ruang tamu, melesat menembus pintu depan.
Tivi 21 inch sudah tembus layarnya oleh linggis mengepul asap legam.
Guci-guci keramik telah tak beda mana Jogja mana Plered.

Tangan lentik itu tak kusangka menyambar ganas kedua sisi muka pria itu
Kepalan kekar besar itu melayang dasyat mampir di mata kiri penampar.
Bibir lelaki itu menetes darah.
Perempuan itu terkulai.

Lelaki kekar itu keluar,
tunggangi kuda besi, berhambur.
Hengkang!

Perempuan itu perlahan bertegak,
terhuyung.
Keluar pagar bak angin tak arah kompas.

Aku bersembunyi ketakutan di pojok di balik meja besar itu
tiada yang aku buat dapat.
Menitik air mata dengan pandangan nol pucat
air muka kosong menggigil kencang.
Adik 6 bulan di pelukku
menangis keras serak parau parahkan suasana.

Hari itu,
mereka berkelahi lagi
Mereka perang dengan buasnya.

Hari itu
pertempuran terkutuk ganas binatang
paling sangat brutal menakutkan

Sepagi hingga malam itu
nafas tersengal-sengal
kami dibunuh
ditikam
dicabik
orang tua sendiri

Hari itu,
tiga puluh delapan tahun lalu,
hari kami harus ke pesta ulang tahun Sahabat kami.

Sedari hari,
maaf Teman,

aku benci Natal

Sabtu, 06 Desember 2008




Saya kok nggak yakin klo Anda nggak punya teman. Apakah teman di kampung, teman satu kerjaan, teman sekantor, teman kencan, atau bahkan teman makan (alias krupuk hehehehe). Pokoknya teman

Award "forever friend" saya persembahkan untuk para blogger yang aktif ngeblog. Bagi yang merasa memenuhi kriteria tersebut, silakan diambil dengna cara apapun.

Terima kasih, Tuhan selalu memberkati usaha baik kita.

KEMBALI

Surabaya, 5 Desember 1999

Ketika mulai kutapakkan indera berjalan
di terowongan ini,
dengan tak sadar kebijaksanaan berpaling telah.

Saat langkah-langkahku membawa
jauh di tengah terowongan,
tidak tampak lagi kedewasaan menyerta.

Dan telah jauh masuk terowongan ini,
baru aku sadar aku sendirian.

Aku mata terbuka untuk kembali harus.
Rasa belum terlambat,
meski tubuh terkoyak tercabik pedang berkarat.

Berharap lihat cahaya setitik.
Terang diremang
belum nampak benderang.
Yakin di lubuk jiwa kan jumpa Sang Sinar.

Selasa, 25 November 2008

Tak Perlu Larang Jurnalis



Akhir-akhir ini marak kejadian menyedihkan yang menimpa jurnalis kita. Mulai dari statemen Kapolda Sulselbar Irjen Pol. Sisno Adiwinoto yang mendorong semua pihak untuk melaporkan kepada polisi terhadap hasil karya jurnalistik para jurnalis yang tidak berkenan. Pernyataan ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang-undang nomor 40 tahun 1999 yang juga sekaligus menerangkan tentang mekanisme hak jawab.

Menurut undang-undang tersebut, seseorang atau sebuah institusi yang merasa pemberitaan tidak sesuai fakta, bisa meminta hak jawab pada media tersebut. Hak jawab memuat klarifikasi dari narasumber yang merasa dirugikan atas pemberitaan tersebut.

Dalam Undang-undang itu jelas-jelas disebutkan, sengketa jurnalistik tidak bisa masuk pada ranah kriminalitas melainkan murni jurnalistik. Untuk itu penyelesaiannya juga harus proporsional. Luka tertusuk peniti, tidak perlu kemo terapi kan?

Tak lama berselang, tepatnya pada Sabtu (22/11) malam, terjadi insiden memalukan yang dilakukan oleh seorang oknum polisi terhadap seorang jurnalis televisi di Surabaya. Dalam peristiwa penertiban pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Dharmawangsa, terjadi penangkapan 2 mahasiswa oleh polisi lalu lintas Polres Surabaya Timur. Saat penangkapan, mahasiswa sempat dipukul oleh oknum polisi itu.

Ketika Nico Leopold, koresponden Trans TV mengambil gambar tersebut, si oknum tadi menampar kamera Nico. Nico dan jurnalis lain berusaha bertanya pada itu si oknum, mengapa ia menampar kamera Nico. Sayang, hingga Minggu (23/11) malam para jurnalis belum mendapat jawaban apapun dari oknum tersebut.

“Saya hanya ingin menanyakan, mengapa dia menampar kamera saya.” ungkap Nico dengna nada kesal saat melapor insiden ini pada AJI Surabaya.

Untuk diketahui, menghalang-halangi jurnalis dalam melakukan peliputan, melanggar pasal 18 UU 40 / 1999 tentang Pers. Hukumannya cukup “menggiurkan”, penjara maksimal 2 tahun atau denda setengah milyar rupiah.

“Tapi Anda juga harus maklum pada SDM yang dimiliki Polisi. Ada yang lulusan Sarjana, SMA, bahkan SMP.” kilah AKP Hartoyo, Kasat Reskrim Polres Surabaya Timur.


Hati-hati

Sebagai seorang korban kekerasan terhadap jurnalis, saya mengajak teman-teman jurnalis untuk selalu berhati-hati dalam setiap melaksanakan tugas peliputan. Kita juga harus wapada terhadap kemungkinan terjadinya chaos atau keributan.

Paradigma lama menyebutkan, daerah teraman jika terjadi kericuhan adalah di belakang barikade polisi. Tapi nampaknya hal itu sudah tidak relevan lagi. Sebab beberapa pihak yang terlibat bentrok dengan polisi atau petugas keamanan, kini sudah berani melawan dengan cara apapun. Termasuk melempar batu (mungkin juga granat kalau punya).

Saya memang belum punya pengetahuan tentang safety jounalist, tapi dari pengalaman di lapangan, setidaknya kita bisa melakukan pemetaan daerah mana yang kiranya aman untuk mengambil gambar. Apa perlu berada di tempat yang lebih tinggi atau mengenakan pelindung tubuh? Itu semua harus kita pikirkan sebelum liputan. Bukan saat berada di TKP dan hendak mengambil gambar. Jika itu terjadi, bisa saja kita berpredikat “jurnalis tak peka TKP”


Pemahaman UU 40 / 1999 tentang Pers

Saya sungguh sangat menyesalkan tindakan oknum yang melakukan penamparan (atau apalah namanya) pada Nico. Polisi yang seharusnya menegakkan Undang-undang tersebut, malah memilih menjadi pelanggar.

Lalu apa saja yang termasuk dalam butir pelarangan meliput?
“Bahkan menutupi lensa kamera saja, termasuk menghalang-halangi pekerjaan jurnalis saat meliput.” kata Andreas Wicaksono, anggota AJI Surabaya.

Pekerjaan jurnalis adalah menyajikan rangkaian fakta menjadi sebuah karya jurnalistik yang kemudian disajikan untuk keperluan masyarakat. Jurnalis adalah wakil masyarakat. Pasti tidak mungkin SBY memberi keterangan pada seluruh rakyat Indonesia. Maka jurnalis mewakili masyarakat hadir dalam event tersebut untuk mendapatkan fakta-fakta faktual.

Jika jurnalis dihalang-halangi dan dilarang meliput sebuah peristiwa, maka secara langsung hal itu menghalangi masyarakat mendapatkan sebuah kebenaran. Apa Anda mau dilarang tahu?

Belum tentu juga sebuah persitiwa yang diliput akan dimuat di media tempat jurnalis itu bekerja. Bisa saja karena nilai beritanya kurang, berita itu tidak dimuat/ ditayangkan.

Tapi jika berita itu dimuat di media dan ternyata tidak sesuai kenyataan, narasumber bisa meminta ruang untuk sebuah hak jawab. Hak jawab merupakan hak masyarakat. Jika masalah terus bergulir, silakan melaporkan media tersbut pada Dewan Pers. Bukannya melaporkan ke Polisi.

Physically, pisau bisa membunuh Anda. Apakah tulisan bisa?

Minggu, 16 November 2008

Gatot Emje Pembuat Sketsa Wajah Amrozi



Dari sekian banyak pihak yang puas atas tuntasnya kasus bom Bali 1, seorang kartunis Surabaya termasuk salah satunya. Gatot Mudjito alias Gatot alias Gatot Emje alias Pak Gem, terlibat dalam tim investigasi bom Bali 1. Gatot terlibat sebagai pembuat sketsa wajah dua orang yang saat itu diduga kuat sebagai dalang tewasnya ratusan orang. Keahlian Pak Gem dimanfaatkan polisi dalam mengungkap salah satu kasus terorisme terbesar di Indonesia.

Di tengah kerutan wajah tuanya, Pak Gem tak kehilangan rasa humornya, seperti yang terpapar pada kartun-kartunnya. Ia tetap ceria di usianya yang mulai senja menginjak 61 tahun. Ingatannya masih tajam setajam goresan tintanya menyorot problem sosial yang terjadi di tanah air dan dunia.

Salah satu peristiwa yang tidak bisa lepas dari ingatannya adalah ledakan bom di Bali. Betapa tidak kakek empat cucu ini tidak pernah membayangkan akan terlibat dalam mengungkap dan turut menuntaskan kasus nasional bertaraf internasional itu.

Sehari setelah bom menewaskan 200 orang lebih di Paddy’s CafĂ© dan Sari Club, Bali, tim Polda Jatim menjemput mantan kartunis harian sore Surabaya Post ini menuju Bali. Gatot tiba di sebuah hotel di Bali jam 6 sore. Ia dipertemukan dengan seorang saksi yang menurut polisi melihat orang yang dianggap mencurigakan tampak lalu lalang di sekitar TKP (Tempat Kejadian Perkara) sebelum bom meledak.

Gatot yang OD (Out Dewe) dari ASRI, Akademi Seni Rupa Indonesia, ini terkekeh ketika mengingat lelahnya saat membantu polisi membuat sket. “Saya kerja 6 jam membuat sket. Orang pertama yang kemudian saya tahu namanya Amrozi selesai dalam 4 jam.” kenang Gatot. Pembuatan sket dilanjut tanpa istirahat. Ia dihadapkan dengan saksi lain untuk membuat sket wajah seorang lagi yang agak gemuk. Belakangan ia baru tahu kalau ia membuat sket wajah Idris.

“Yang khas dari Amrozi adalah mukanya lonjong, mata cekung, rambut panjang. Kalau Idris agak gemuk. Paling sulit membuat mata, tapi akhirnya berhasil juga. Hehehe” kata Gatot.

Dua minggu berselang, Amrozi benar-benar tertangkap. Tim Polda Jatim kembali menjemputnya untuk lagi-lagi membuat sket wajah. Gatot mengaku kaget ketika melihat saksi yang akan memberikan keterangan padanya untuk membuat sket, ternyata adalah Amrozi. Sejenak ia mengaku canggung. “Apa dia mau bicara ya? Dia kan tersangka utama.” kisah Gatot

Dengan pengalamannya membantu Polisi sejak tahun 80an, ia mulai membuat sket wajah Idris, seperti yang ia lakukan di Bali, dengan menanyai Amrozi. Menurut Gatot, Amrozi tidak banyak bicara, tapi memberi keterangan dengan tepat. Buktinya setelah sket selesai, hasilnya tidak jauh beda dengan yang ia buat di Bali.

Setelah Amrozi Cs telah dieksekusi dan kasus bom Bali 1 dinyatakan ditutup, Gatot salah satu orang yang bernafas lega. Meski tidak dapat melupakan momen membanggakan itu—membantu polisi mengungkap kasus keji itu—namun Gatot Mudjito alias Gatot alias Gatot Emje alias Pak Gem enggan mengingat-ingat wajah Amrozi. Ia berusaha keras melupakan sketsa yang pernah ia buat, maupun wajah asli Amrozi terpampang luas di media massa nasional dan internasional. “Wah saya sudah lupa tuh.” lanjutnya sambil terkekeh.

Rasa bangga menyelimuti laki-laki tua yang murah senyum ini. Ia patut berbesar hati karena goresannya mampu membantu mengangkat martabat bangsa Indonesia di panggung internasional, karena berhasil menangkap pelaku terorisme.

Jumat, 14 November 2008

SUMPAH IBLIS

Surabaya, 16 November 1999



Kami, Iblis hamba neraka,
kali pertama menangis melihat ulah manusia
mengiris jantung saudaranya
menyayat lidah tetangganya
menggorok tenggorokan temannya
mencacah perut gurunya
merampok rumah ibadah
menjarah kebanggaan
meruntuh tempat bersujud
menohok tunas kerabat dekatnya
melahap yang betul-betul melahap
darah lawan tak berdaya

Kami, Setan laskar neraka,
kali pertama miris menyaksi bangganya
manusia sembunyi berselimut
kain dua warna

kali pertama enggan melihat nikmatnya
manusia melahap usus korbannya
dimasak mimakan bersama
dikata rasa asli segurih madat

Kami, Berkasak pengacau dunia,
kali pertama muak melihat
keperkasaan jantan manusia tutupi
sejarah hitam bangsa
tuduh sejawat paling tanggung atas jawab peristiwa
terjadi nusantara lolong berpilu

Kami, Jin benteng pertahanan neraka,
kali pertama merasa tertandingi
aksi manusia berbangga menyeringai riang
bermata putih menombak dada wanita tua disaksi cucu
balita menangis serak suara daya tiada bersimpuh
air mata lumuri pertiwi meronta


Kami, segenap hamba neraka raya,
berani bersumpah demi raja junjungan kami
bahwa kami belum pernah diperintah
menghasut manusia berkeji raja tega
seperti yang kami saksikan baru saja.



Sambas – Ambon – Timor Leste

Kamis, 13 November 2008

AKULAH BINATANG

Surabaya, 24 November 1998


Aku riang gegap gempita ketika kudengar kabar
ada yang tertumbuk di sana.
Aku rasa senangbukan kepalang saat berita tersiar
ada yang terhujam bayonet di sana.
Sekali lagi aku gembira waktu laporan bicara
ada yang dihujani gebukan buluh rotan di sana
Aaaah….. betapa hiburan yang romantis.

Akulah raksasa.
Siluman bertubuh besar, gergasi berambut api,
bertanduk sembilan.
Rautku bengis seram merah padam
dengan taring-taringku runcing ganas buas menyeringai.

Akulah binatang.
Selalu lapar daging segar manusi
dan darahnya yang merah menggiurkan.
Senantiasa haus akan tangis manusia
yang memohon belas kasihanku.
Aku selalu rakus untukmenghisap sumsum
dan otak manusia yang anyir nan lezat.

Tanganku bagaikankarang ini,
tak akan ada yang bisa menghentikan untuk selalu menggocoh.
Amukanku bak topan badai ini,
akan menyingkirkan semua pembendung congkakku.
Nafsuku yang sekeras baja ini,
tak akan ada yang menerobos tembus.
Kakiku yang sedasyat letusan Krakatau,
selalu siap melantak segala penghalang nafsuku.

Akulah Raksasa!
Akulah Binatang!
Ha Ha Ha
Ha Ha Ha
Ha Ha Ha

Selasa, 11 November 2008

Dimakan Monyet, Diminum Orang



Penemuan sirup bogem dari bakau jenis Soneratea alba oleh Mochson benar-benar mengejutkan semua orang. Selama ini mangrove hanya dikenal sebagai tanaman penjaga daratan dari abrasi. Namun di tangan Soni, panggilan Mochson, hutan mangrove bisa diminum.

Soni mengaku prihatin pada buah bogem yang hanya terbuang percuma, selain dimanfaatkan untuk reboisasi. Buahnya yang jatuh hanya dibuat main lempar-lemparan oleh anak-anak.

Warga sekitar juga enggan terus-terusan ngerujak buah bogem karena rasanya yang sangat masam. Malah cenderung pahit saking masamnya.

Lama merenung sambil memandangi hutan mangrove, ia melihat sekumpulan kera di rerimbunan hutan mangrove. Awalnya Soni mengira primata-primata itu hanya bercengkrama saja. "Setelah saya amati, kok ada yang memakan buah bogem." katanya.

Soni bersimpulan buah bogem aman dikonsumsi. Rasa penasarannya membuat kakek satu cucu ini mencari informasi tentang pemanfaatan buah Soneratea alba. "Bogem ternyata dimakan juga oleh orang Kalimantan dan Bali. Ada yang dibuat rujak." tuturnya.

Ia ingin membuat sesuatu yang berbeda dari pemanfaatan bogem. Kalau dibuat rujak, tentu sudah biasa. Lalu dimulailah sejumlah eksperimen dengan buah eksotis ini. Membuat sari buah atau jus pernah dicobanya. Menurut Soni, rasanya segar. sayangnya jus tidak mampu bertahan lama.

Dasar penjuang, semangat Soni tidak patah. Ia lalu mencoba mengolah buah bogem jadi sirup. Hasilnya luar biasa. Rasa masam dan manis bersekutu di lidah membuat kerongkongan segar begitu dialiri hutan cair ini. Aroma mangrove yang khas dengan rasanya yang berani, sangat cocok untuk iklim tropis. "Ini oleh-oleh khas Surabaya." klaim Soni.

Kini pemanfaatan buah bogem tidak hanya untuk sirup saja. Dua produk olahan lain telah dihasilkan Soni. Antara lain jenang atau dodol bogem, dan cuka bogem. Jenang bogem bernuansa masam dan sepat yang menghiasi rasa manis jenang. Bagi yang suka pengalaman baru, ada baiknya mencicipi jenang khas Surabaya ini.

Kamis, 06 November 2008

Pengalaman Pertama


Ini kali pertama saya ikut lomba jurnalistik. Sebenarnya banyak ajang lomba jurnalistik yang diadakan berbagai lembaga, termasuk AJI (Aliansi Jurnalis Independen). Tapi tidak banyak yang mengakomodasi jurnalis TV.

Kebetulan sekali Sampoerna mengadakan Anugerah Adhiwarta Sampoerna 2008 yang melombakan beberapa katagori media, termasuk televisi. Saya pikir ini peluang emas untuk ikut.

Berharap menang itu pasti. Menang kan harapan semua orang. Tapi yang lebih penting adalah pengalaman ikut lomba.

Untuk materi lomba, saya mengangkat Mochson, si penanam hutan mangrove di kawasan Wonorejo, Surabaya. Liputan berbentuk profil, sudah ditayangkan di Seputar Jatim (RCTI) dan Lintas Jatim (TPI) pada Rabu (27/8) lalu. Kira-kira isi beritanya bisa Anda simak di posting sebelumnya.

Untuk membuat liputan ini, saya bela-belain pinjam kamera teman, yang hasilnya jauh lebih bagus daripada handycam mungil yang sehari-hari saya pakai untuk liputan. Bukannya tidak pede kalau tidak pakai kamera sendiri. Tapi sekadar ingin dapat hasil yang prima.

Saya berharap dapat mencantumkan prestasi saya—jika menang— di Curriculum vitae saya. Ini tentu saja dapat menambah nilai plus saat bagi saya dan media tempat saya bekerja, juga bagi wadah tempat saya berserikat di AJI Surabaya.

Saya berharap bantuan doa dari teman-teman dan para penikmat LOMBOK! Agar saya dapat mengukir prestasi di ajang lomba bergengsi ini. Terimakasih, Tuhan senantiasa memberkati semua usahana baik kita.

Rabu, 05 November 2008

Diajari sampah, Soni hutankan mangrove



Kerut di wajahnya belum juga nampak. Iapun masih lincah saat bermanuver menggunakan sepeda motor di pematang tambak. Tapi Mochson yang akrab disapa Soni benar-benar sudah kakek satu cucu.

Soni bukanlah warga asli Wonorejo. Karena alasan pekerjaan, dia kini berdomisili di Wonorejo dekat gardu induk PLN. Ia karyawan sebuah pengembang sekaligus salah satu warga perdana di sana.

Setiap ada waktu senggang pemilik kumis tebal ini menyusuri pinggiran sungai Surabaya atau kali Londo—demikian warga menyebut— hingga muara sungai menggunakan perahu bersama beberapa nelayan dan warga Wonorejo. Ia bermaksud menanami pesisir dengan bakau untuk mencegah abrasi.

Sejak 2004 lalu bapak 3 anak ini getol menanami pematang tambak, bibir sungai, hingga pesisir pantai dengan bibit Soneratea alba atau bogem. Untuk jenis tanaman yang satu ini, ia punya metode khusus temuannya sendiri. Metode rumput kering.

Tidak sulit kok. Biji buah bogem dimasukkan dalam ikatan rumput kering. Tujuannya agar biji tidak berhamburan keluar jika tersapu ombak. Dalam satu gumpalan rumput kering, Soni memasukkan sekitar dua puluhan biji. Akar bakau yang tumbuh nantinya akan mempunyai pegangan. Lalu rumput berisi biji bogem tadi ditanam dengna cara membenamkan ke dalam tanah.

Sebelum menggunakan metode ini, bibit bogem yang ia tanam selalu gagal. Alias layu sebelum berkembang bin hidup cepat mati muda. Saat itu ia menggunakan metode primitif, dengan langsung menanam biji ke dalam tanah.

Anehnya banyak tunas justru tumbuh dari sela-sela sampah yang mampir di pesisir sungai akibat terbawa ombak. “Dari pengamatan itu, muncul ide menggunakan metode rumput kering.” kata Soni.

Menurut Soni, bogem tidak cocok dibiakkan dengan stek. Stek membuat pertumbuhan bogem sangat lambat dan bodinya kurus. Hasil yang kurang baik juga terjadi pada pembibitan dengan menggunakan polybag.

Dengan metode baru temuannya ini, ia yakin mampu menghasilkan bakau yang punya daya bertahan hidup yang cukup tinggi di tengah ganasnya terpan ombak. Ini sudah terbukti dengan ratusan bogem yang kini tumbuh kokoh menahan daratan di pesisir sungai.



Bogem untuk penghijauan?

Menurut pengamatan laki-laki kelahiran Bojonegoro 54 tahun silam ini, bogem punya karakter kuat. Yaitu bisa tumbuh di luar habitat aslinya. Jenis bakau yang bentuk buahnya sangat eksotis ini, juga mampu hidup dalam kondisi salinitas air yang minim, meski hal itu dibutuhkan semua jenis bakau.

Yang menggiurkan, buah bogem yang aromanya sangat menggugah selera ini juga bisa dimanfaatkan menjadi beberapa produk bernilai ekonomi tinggi. Buah bogem bisa diolah menjadi sirup, dodol, dan cuka.

Bogem menjadi satu-satunya buah tropis yang mengandung vitamin A, C, sekaligus beryodium tinggi. Dan berfungsi sebagai anti oksidan. Menurut warga sekitar, bogem mampu mengobati diare, batuk, hingga mencegah stroke.

Hal ini yang dipakai Soni untuk merubah pola pandang pemanfaatan bakau oleh warga sekitar. “Maksud saya biar masyarakat itu tahu manfaat buahnya, dan mengubah pola mereka dari menebang pohon menjadi memetik buah.” harap Soni.

Upaya Soni menanam bakau sejak 10 tahun lalu cukup membuahkan hasil. Sekitar 100 hektar lahan terabrasi berhasil ia tanamai berbagai jenis bakau.

Namun mantan pegawai Badan Pertanahan Nasional Bojonegoro yang juga pernah jadi tukang foto keliling ini, masih punya “pekerjaan rumah” yang menumpuk. Dari sekitar 350 ribu hektar kawasan hutan mangrove, masih ada 25 hektar lahan kosong yang belum tertanami.

Ini bukanlah pekerjaan mudah. Mengingat hasil menanam tidak bisa dilihat hanya dalam 1 atau 2 hari saja. Sambil menunggu hasil tanam, Soni selalu cemas karena ancaman ombak mengikis daratan bukan ilusi. Ombak yang menggerogoti daratan bisa merobohkan tanaman bakau yang masih muda.

Belum lagi ada kecurigaan masyarakat pada aktivitas penghijauan hutan mangrove yang dilakukan Soni. Betapa tidak, Soni yang terkenal sebagai penanam hutan mangrove juga tercatat sebagai pegawai sebuah pengembang perumahan.

Ibarat serigala berbulu domba, bisa jadi kepeduliannya terhadap hutan mangrove hanya balutan cantik agar daratan terjaga. Sehingga daratan untuk pembangunan perumahan selalu tersedia.

Soni tampak tidak sewot dengan kecurigaan ini. Ia membeberkan, aktivitasnya menghutankan mangrove mendapat donasi dari koceknya sendiri “Kecurigaan itu dari dulu sudah ada. Sejak awal penanaman, tidak ada pihak yang menyandang dana.” jawabnya enteng.

Rabu, 15 Oktober 2008

PELAJARAN AGAMA TAK PAHAM AGAMA

Surabaya, 26 Maret 2000

Baru aku sadar bahwa akhlak bisa diukur dengan angka
Baru aku mata terbuka, dihalalkan numerik jadi patokan iman
Baru aku terbangun, pendidikan rumah ibadah tak lagi berlaku.

Rasa gusar geram baru siuman aku dan berpikiran edan,
bahwa paling terhormat bila pelajaran agama di sekolah dihapuskan saja.

Senin, 13 Oktober 2008

DURI TERTUSUK LARA

Surabaya, 22 Mei 2002

Kita berpelukan
Kekasih, kau terus membujukku untuk tinggal.
Kata-kata lembutmu
kalimat halusmu sungguh membuat aku gentar
Tetes-tetes air matamu membiaskan pandangmu.
Aku terhempas.

Kita berpelukan erat.
Jemari lentikmu meremas genggam pundakku.
Kau curahkan segala sayangmu.
Bisikkan masnismu benar mengguncang tulang sendiku.
Cintaku,
jangan kau kira aku tak dengar.
Jantungku berhenti berdegub.

Aku tetap harus pergi.
Tetapi cintaku sungguh sebatu karang. Aku ingin di sini.

Kita masih berpelukan.
Bibir mungilmu masih berbisik padaku
tentang sampan cinta kita
tentang samudra suka cita
tentang keriaan nanti.
Rambut hitammu begitu dasyat berteriak kepadaku,
"Tinggalah, Cintaku!"
Deru jantungmu hingar gemuruh mengiba, "Aku haus..."

Cintaku,
jangan pikir aku picingkan mata,
jangan bersangka aku bertebing terjal.
Jangan buat aku tinggal di sini.

Kita masih berpelukan kencang.
Dan aku benci melepas pelukanmu.
Aku benci untuk meninggalkanmu.
Aku maki diriku untuk melepaskanmu.
Cintaku, maaf aku telah mengecap cintamu...
maaf, kau telah mengecap cintaku...

Cintaku, kau tetap tak mau melepas pelukanmu,
meski aku sudah katakan

Kekasih,
aku buronan!

Minggu, 05 Oktober 2008

GARAM MENGGUGAT

Surabaya, 16 Oktober 1999


Aku adalah garam yang disarikan dari laut,
Yang dipakai hampir di seluruh kehidupan
mahluk yang menamakan dirinya, manusia.

Celakalah bila jangan kunci tak pakai aku.
Nista jika oralit tanpa aku.
Rusaklah krupuk upil alpakan aku.
Bahkan mungkin tak kunjung meledaklah
TNT minus aku.
Kala kurengungi
ipoleksosbudhankamrata akan sangat bodoh
semisal mengabaikan aku

Aku adalah garam yang disarikan dari laut,
tak terlalu sulit mendapatkan diri ini.
Mulai dari daratran timur hingga barat, utara dan selatan.
Mulai dari pasar tradisional hingga supermarket.
Mulai dari warung amigos sampai dapur Hilton.
Mulai dari rumah tangga keluarga sampai tangga negara
aku tak mustahil dijumpai.

Nun hingga kini,
di daratan gemah ripah loh jinawi ini
aku tidak tempat yang nikmat.
Aku mudah dipunya
pula mudah disirna.

Aku murah diharga
makin hampa harga diri
saat hanya ditukar beberapa
keping gemerincing
dibungkus kantong plastik tipis
dijinjing ditenteng.

Hanya di para ibu aku rasa diterima
Cuma di tangan ibu aku diharga.

Aku adalah garam yang disarikan dari laut,
Dengan ini menggugat,

Terkutuklah manusia mencampakkan aku,
akulah menyedapkan masakan mewah mereka.

Tertanda,

Aku

Garam yang disarikan dari laut

Rabu, 10 September 2008

Aku Bangga




Surabaya, 6 Januari 1999

Telah cukup muak kulihat tingkahnya
Telah cukup kupendam luka
Telah kurasa kecewa
Telah muak kudengar bingar
Perginya membuat rumah gusar

Mabuknya tak jua sadar
Tinjunya memarkan hati pedih
Pergaulannya kadikan mataku putih
Lantam teriakannya tak lagi cintaku masih
Habislah aku

Tersungkur dalam bunga tidurku
Kusayat urat nadi merintih aku pilu
Kuteteskan air mata darah
Bahkan mimpipun aku gundah
Tolonglah, Gusti, sudah!

Hari-haripun terasa panas
Darah mendidih kepalaku pecah hati terlibas
Badan rasanya sepuluh tigapuluh truk melindas
Tapi sang bocah keparat ini tampak tenang
Si durhaka bagaikan pesta tampaknya selalu girang

Tak peduli biar jungkir balik ayahnya mengerang
Akan kutungu dan kuhitung
Biarlah rasa manusiaku kulepas dulu kugantung
Putih dan hitamku bertarung
Satu, dua, tiga. Tak mungkin mengelak dapat

Sudah, sudah, sudah kubabat
Biarlah lehernya menganga terteas gobang keramat
Darah merah melumuri tubuh
Karam sudah kapal tak lagi labuh
Karena telah remuk tak utuh

BALADA KLEPON



Surabaya, 4 Juli 1998

Tiap kali ayah bawa klepon sepolang kerja,
selalu tiga bungkus kulalap habis.
Setiap kali ayah tanya oleh-oleh apa
kujawab satu kata, klepon

Ibu, buatkan dong anakmu klepon yang banyak
untuk nonton tivi nanti sore.
Anggukan mesra ibu tanda ya.
Senang aku ternyata ibu bisa buat klepon

Amat lekas sekali ibu memasaknya
bagaikan sekejap langsung klepon siap.
Air liurku banjiri mulut
harus kutahan hingga acara nanti sore.

Hampir tiap hari
aku minta dibuatkan.
Sepertinya aku kecanduan klepon.
Sepertinya klepon yang mengalir di darahku.

Lalu aku pikir, bila ibu tak ada di rumah
siapa yang buatkan klepon?

Mau beli kini yang jual jauh.
Mau beli kini kleponnya kecil-kecil, tak puas.

Kutanya ibu resep dan cara masaknya.
Mudah bahannya bisa didapat di pasar.
Aku belanja bahannya
dan sore in iaku belajar buat klepon bersama ibu.

Asyik, kini kunikmati klepon buatanku
rasanya tak kalah dengan buatan ibu.
Kunikmati sambil nonton kartun
sekali gigit rasanya seperti di surga.

Kini tiap hari kubuat klepon sendiri.
Kunikmati tak ada yang ganggu
tegal yang lain tak suka klepon
tegal yang lain suka klanting

Tapi kini aku agak risi
tegal kakak ikut nimbrung.
cawe-case ngudek adonan
cawe-cawe ngoplos bahan.

Tak cukup kakak yang ikut
Budhepun turut
Paklik juga serta
Mbahkung tertarik terus ngudek-ngudek
entah mengapa esoknya
Pak Koliq, tetanga belakang urun
istrinya melu
pembantunya apa lagi.

Budhe yang saring tepunnya
Paklik masak gula jawa
Mbahkung cari pandan
lal uberi warna ungu pada kleponnya.

Pak Koliq yang ngudek
istrinya yang nyicipi
pembantuny ayang masak air
lalu nggodog.

Kucicipi,
Bah! Rasanya bagai neraka.
Gula terlalu banyak.
Warnanya ungu pula.

Sebel aku akan klepon kini.
Tak ingin kusentuh klepon
walau ibu buat
walalu oleh-oleh ayah.
muak dengan kata klepon
melintas di telinga.
Pun mual perut ingin muntah
bila cium aroma klepon

Durjana!

Jumat, 22 Agustus 2008

SIMBIOSIS MUTUALISME



Surabaya, 4 Juni 2000


Sedari pulang sekolah menyusur sungai kecil mengalir membelah jalan ramai di seberang toserba sepi pengunjung di siang
terik, kuterpana memandang berumpun eceng gondok hijau merimbun kokoh di permukaan air sungai.

Aku yang masih digantungi tas kuliah di pundak kananku terhenti
tersita hasrat pulangku sejenak oleh rimbunan eceng gondok menutup atas air sungai.
Mungkin benarkah kata orang kampung berujar,
"Eceng gondok ini bertiada guna. Merusak sungai karena bertumpuk biaknya. Harus disingkir agar kali kita melancar setiap arusnya."
Atau harus kupercaya ucap seorang teman,
"Eceng gondok itu bagus lho, dikarena membersih air dari pencemar. Si airnya lalu jadi jernih dan dipasti lebih bersih."

Aku kembali lagi ke kampus esok hari.
Bertukar pengalaman dengan beberapa kolega, dengan beebrapa aktivis, dengna beberapa dosen. Ternyata terkata benarlah bahwa eceng gondok memang tidak ditakdir membawa petaka durjana.

Aku layangkan kaki ke pinggir jembatan sungaiku lagi.

Kurenungi dan kuyakin harus patut kuberpaham dengan segenap jiwa, logika, akal sehat, emosi, empati, intelegensi, nurani, dan hati.

Kuhayati bahwa harus disadari ternyata sang air memberi
hidup sang eceng gondok,
dan
sang eceng gondok membersih air dari racun.

Lalu aku terhentak, masih pingsan.
Cinta harus eceng gondok dan air!



ditoreh untuk kekasih

Selasa, 08 Juli 2008

REGRET


Surabaya, 28 July 2000 (SLTP Untag)

im blind though i eyes have
im mute though i have mouth
im deaf though ears i have
im limp though i legs have
im fool though i have brain
im fierce though heart i have

forgive me Father
for i have sinned

Senin, 07 Juli 2008

SENDAL IDAMAN si BONO



Surabaya, 5 April 1997


Siang itu sepulang dari kerja, Bono mendapati sang sendal jepitnya telah prak poranda babak belur tercabik anjing herder tetangganya.

Iapun menangis karena kenangan indah bersama sendal jepitnya takkan dapat ia hapus dari ingatannya.
Terngiang waktu masa perjuangan repolusi pisik dulu.
Terngiang kala menyaksikan pembacaan proklamasi.
Terngiang saat tercebur di kali dan bertemu dengan .....

"Sendal jepit, oh sendal jepitku." Bono mendesah dengan air mata bercucuran
Dipecahnya celengan yang sudah terisi penuh dengna uang receh yang telah dua tahun empat bulan tujuh minggu lima hari belum pernah dipecahnya itu.
Pyar! Cring cring cring! Suara pecahnya celengan dan berhamburnya uang receh ke lantai tak terelakkan lagi memekakkan telinga bagai letusan Krakatau.

Seratus, dua ratus lima puluh, tuju ratus, seribu lima puluh. Total jendral dua puluh ribu dua puluh lima rupiah terkumpul. Bonopun senang.

Segeralah ia pancal sepedanya ke toko sendal di perempatan jalan sebelah penjual sumbu.
Iapun masuk toko dan mulai melihat-lihat ke kanan dan ke kiri, namun tiada kunjung nampak ujud sendal yang diinginkannya.
Pikirnya, "Ah, di toko lain pasti ada."

Bono segera memacu kendaraannya menuju toko sendal di alun-alun yang kurang lebih tiga kilo tujuh jengkal jaraknya dari toko pertama.
Berdesak-desak keadannya hingga ia kesulitan untuk melihat apalagi memilih.
Jengkel, lalu ia tinggalkan toko itu dengan segala bau keringat orang yang ada di situ.

Dengan kecepatan tinggi tapi hati-hati, ia tunggangi si sepeda kebo yang sudah kusam lagi butut itu.
Sampai di toko sendal terakhir yang dimiliki kota itu yang diapit oleh kios las karbit milik pak Koliq dan toko emas milik seorang kaya di kota itu.
Bono nampak sedikit senang sebab toko itu nampak sepi kekurangan pengunjung di malam minggu awal bulan itu.
Mata Bono terlihat jelalatan memandangi pasang demi pasang sendal di toko itu.

"Lha!!" pekik Bono sambil memegang sepasang sendal yang nampaknya ia senangi.
"Lho!!" ucap Bono penuh sesal sebab harga yang terpampang dianggapnya kurang sopan terhadap koceknya.

Bono keluar dari toko itu dan menuntun sepedanya degan penuh rasa kecewa.
Langkahnya berat dan makin menyedihkan lagi karena tanpa alas kaki rupanya ia dari tadi.
Air matanya kembali berlinang menjatuhi bumi mengalir di tanah bak sungai di kota-kota besar yang bening seperti kopi susu yang selalu ditenggaknya setiap pagi.

Ke sana ke mari Bono mencari. Tapi yang didapatinya dari tadi hanya
sendal kulit
sendal ban
terompah
klompen, dan
selop

Bono tak senang dengan semua itu. Bono tak senang denga sendal-sendal itu. Jadi apakah BOno tetap harus memilih satu di antara yang tidak disenanginya itu?
Dosakah bila ia tak beralas kaki?

Kata Bono, "Aku akan nyeker."

Senin, 09 Juni 2008

Ting! Ting! Ting! Purna!

Surabaya, 7 Juni 2008

bergelut kelu temaram
menabuh mangkuk kusam, ting! ting! ting!
itu sendok bebek mengirama bertempo ting! ting! ting!
tak jua laku bersurut kurang 7 mangkuk ini

aku letih ngilu
pundakku lekang dikalungi buluh ini
kerikil menggigiti tumitku tak bisa dihalangi sendal jepit tipis lagi
rumahku masih jauh dari ini

kacang ijo bubur diterangi oblik jelaga
pinggangku peyok lantaran runtuh

tempo terus ting! ting ! ting!
masih kusimpan 7 mangkuk ini

semua gang tak lagi congkak
semua debu jeda bergolak

ting!

itu kulihat aku teronggok
pikul memburai, para mangkuk para sirna
oblik lunglai terbaliknya
aku bisa nampak aku

tak perlu lagi nyanyi ting! ting! ting!
itu, Sobatku memeluk bangga jiwa
sejuk, hangat, intim

Selasa, 03 Juni 2008

Netra Mangkara

Surabaya, 2 Juni 2008

Tak lekang meregang suram hitam
Legam sekar wangi berserak warni
Gelap runtuh tersirat warna semerbak

Aku buta!
Aku netra!
Netra jiwa melantak adab!
Tuna pantang aku berserah!

Mereka kata,
Bagai bodoh si netra membingkai para berbuta

Aku jiwa!
Aku buta tak lihat apa
Aku buta tak kecap gemerlap
Aku buta tak sua kerling bianglala

Mereka kata,
Nan tolol pengarah jua kaum nista mata

Aku buta menuntun para buta
Aku buta melihat lesat jangkau para netra

Aku, si buta, lantang menantang,
Kau netra, tak malu berbalut agama?
Kau mata, hina nian mengecap harta lain?
Kau punya lihat, biadab berjuluk manusia!



saya terang-terangan mengecam ungkapan “seperti orang buta menuntun orang buta”. ungkapan ini sungguh menghina para tuna netra. mereka yang bisa melihat, toh tidak berbuat banyak buat para tuna netra.
Biadab!

Lalu Tak Mati

Surabaya, 19 Februari 2008

sepoi menurunkan angin
angin bertiup jadi badai

bunga mekar pasal buah
buah masak jadi ranum

moyang berpinak ayah-bunda
ayah bunda mesra jadi awak

lampau lahirkan kini
tonggak sejarah esok
pantanglah hirau lalu
enggan lupa kemarin
hari ini berada sebab dulu
sekarang untuk merenda masa di depan

Rabu, 21 Mei 2008

Bergelut Dengan Cemooh



Diremehkan tetangga sekitar tidak menjadikan Pur patah arang dengan kondisi fisiknya yang bagi sebagian orang, kurang menguntungkan. Berangkat dari ketertarikannya pada dunia otomotif, kini Pur mampu membuka bengkelnya bersama adiknya. ia bahkan mampu mempekerjakan seorang karyawan.

Slamet Purnomo mengalami polio sejak lahir. namun Pur, demikian ia akrab disapa, pantang menyerah. Bapak satu anak ini tekun menggeluti ketertarikannya pada roda gigi sepeda motor dan bau bensin yang menyengat. Meski hanya mempelajari mesin secara otodidak tidak mengurangi keakuratan analisa Pur dalam mengobati sakit pada sepeda motor kliennya.

Dasar sudah hobi, dengan mudah Pur menyerap berbagai ilmu mekanika yang diajarkan adiknya, Samsul. Dan dari hobi dan ketekunannya itulah, kedua orang tua Pur membangunkan sebuah bengkel di kawasan Keputih Tegal, Surabaya.

“Kowe nek tak gawekno bengkel yok opo, Le?” kata Pur menirukan tawaran orang tuanya.

Pur menuturkan saat awal merintis usahanya 2000 silam, banyak orang yang mencemooh dan meremehkan keterbatasan fisiknya. Tapi tidak seorangpun mampu menyurutkan pria ramah ini. Cibiran itu justru menjadi cambuk bagi bapak 1 anak ini untuk bertahan dan terus berjuang. “Wah sudah nggak terhitung lagi yang menghina saya.” kata Pur sambil tersenyum cuek.

Dua kruk dari bilah pipa air yang terbilang cukup berat itu menjadi teman setia Pur kemanapun ia pergi. Kruk bukanlah penghambat baginya untuk maju. Baginya dua kruk itu adalah alat bantu kerja, layaknya obeng untuk membantu membuka sekrup.

Kegigihannya selama 8 tahun berbuah limpah. Kini pelanggan Pur mengalir seperti arus sungai. Tenang tapi berlanjut. Lumintu. Banyaknya pelanggan ternyata tidak mengurangi mutu garapan Pur. Daryanto salah seorang pelangannya mengakui ini, “Kerjanya bagus dan rapi.”

Pur mengaku tidak ragu menjalani hidupnya meski menyandang cacat. Apalagi ditemani Muji Minarti, istri tercintanya dan Axal Gimnastiar, anaknya yang masih 5 tahun.

Pur bersama teman-temannya di Ikatan Alumni Yayasan Yenyandang Cacat, IKA YPAC Surabaya, selalu berkoordinasi untuk memberdayakan para penyandang cacat. Pur selalu mendorong para penyandang cacat untuk mau membuka lapangan kerja sendiri, dengan memanfaatkan ketrampilan masing-masing. “Untuk teman-teman saya para penyang cacat, jangan hanya menunggu bantuan orang. Kita sendiri yang harus membantu diri kita sendiri. Gunakan ketrampilan yang kita miliki. Pasti banyak manfaatnya.”

Sebagai seorang mekanik tekad Pur hanya memberikan pelayanan yang prima agar para pelanggannya puas. Terutama agar dunia tahu, penyandang cacat tidak bisa dipandang sebelah mata.

(22/02/08)

Senin, 19 Mei 2008

Gantariku



Rambut halusmu melambai, waktu kamu datang di dunia ini
Sorak sorai lantang itu pecahi ruang jiwaku dan bundamu
Tiada lagi ngilu ngantuk
Diganjar syahdu roh suci membelai kita

Kau ceria berpelukan dengan kami
Ayah dan bundamu gembira, kita berbagi tempat tidur bersama

Minum dulu, Nduk!
Lepaskan dahaga sirna. Ini energi semesta
Kenyangkan hingga tak tersisa
Yakin besok ada lagi

Detik jantungmu jadi ritme emosi kami
Tangis tengah malammu hantam plafon genting rumah, jadi alaram cinta
Air mandimu kupakai mandi
Budaya hidupku mencuci pakaianmu kini

Ompol hangat nggeloyor merembes di dada melorot ke perutku waktu kau kudekap
Aroma ompol ini wangi selaras jiwa
Segunung celana penuh pipis
Segunung pipis penuh cinta
Segunung cinta penuh Esa
Ini rantai cinta kau, mungilku, dengan aku, ayahmu

Tawon nungging itu nangkring tepat di tengah dua bakpau mungil
Meninggalkan entup di paru-paru
Jidatmu lebar tanda akalmu semoga bakal ramah untuk semua

Untaian cinta hari-hariku yaitu senyum renyah, njaprut mungil bibir tipis, jari-jari pisang, lidah belah kian melet-melet…

Nanti jadi ini
Jadi itu
Jadi apa
Jadi yang mana
Jadi hahaha
Jadi hihihi
Jadi hehehe

tuluslah! putih! terang! lurus! lantang!
Gantari!


Robin Moyer pada 1982 memotret beberapa jenazah pengungsi Palestina yang dibantai di Beirut, Lebanon.
jika hati bergetar,
andai darah mendidih,
rangkai kata kunanti
pada puisilombok@gmail.com