Minggu, 28 Desember 2008

MERAJAH DARAH



Surabaya, 22 Desember 2008

Sebatang hari kumelayang di dunia berjuta nuansa
Manjakan jemari puaskan nikmati kembang bermekar
Berbaju nafsu berdecak jantung ujung lidah

Pelan aku merambat rayapi jelujur tubuh
si kembang di jauh

Gerayang jemari lentiknya merasukku
Tak kuasa menetes aku berliur
duduk tenang tiada
nafas kubertahan
panas menyeruak lutut ke ujung dahi kepala

Yakin aku si kembang kegelian pula
Vibrasinya ketara terasa saat dilaju teras maya
Sengal birahinya tercium meski berkilo meternya
Aroma desahan diujarnya
Resah!
Nafas kembang sudah basah

Segera kuhentak dering di sana
Suara lentik mirip kutahu
Kini darahku menyulut-nyulut
Degub-derab jantung berpacu birahiku
Rayu mengalun mengecup halus
lembut meraba tiap jengkalan
membangkit memerah kobar dengus asmara
jilatan api membahana pusaran gelora

Kupacu kuda henti tak
Angin kuhempas sorot menggila
Bertalu hasrat menggebu nyala matahari

Cepat bersarang pada ruang bersejuk
Kuluruh dulu debu muka di tangan pada kaki kuseka
Menunggu kembang bertandang
Tak ada tenang birahi gemuruh

Kala hening riuh bertalu
Waktu detik terjeda
Ketuk lembut aroma penuh nafsu
Menohok genderang telinga

Gejolak bangkit menggelegar
Tapak menelapak perlahan
Detum kencang jantung memompa
Ketika kaki menapak

Kutunggu ragu hendakkan raih kembang
Kupastikan dulu tirai buka

Mata siaga menyalak!
Hati tiba pecah tiba buyar
Lutut ini seperti meretas lepas persendi
Ingin kupancung
Meledak kepalaku mestinya ini
Baiknya kuhunus pedang dalam dadaku saja
Hancur kusaksi sendiri
Tak mungkin pastinya bercinta nafsu mengulum birahi dengan


adik sendiri

Kamis, 25 Desember 2008

SATE SUGENG BERANTAKAN

Surabaya, 25 Desember 2008

Uang ini sudah disimpan rapi dari 2 purnama lalu
Mereka hendaknya mau ganyang sate ayam pesta nikmat
Aku tahu ini

Sugeng tengah baya mengayuh rengat sepedanya keliling Surabaya mendidih
Melotot kotakan biru kuning,
melongok ban kuping depan pagar,
menyelam pada debu bunga jalan
Aku tahu ini

selembar, selumbar, sebiji, setali, segebok, selonjor, seikat, sekarung, segunung
Itu kardus bersanding ini gelombang seng
Seikat botol plastik setali koran renta
Sekoli sepeda karat bertumpuk sepatu sol terhias debu
Satu tetes seribu Sugeng simpan di kaleng
Dua teguk puluh ribu untuk kaleng
Gelintiran bebutir ratusan kepada kaleng saja
Aku tahu ini

Sugeng sekawan sepakat tunda nasi bertautan lauk
sekelompokan Sugeng yakin mau pertahan lapar sedikit lama
Aku tahu ini

Ini malamnya mereka yang tunggui sekala dua kali rembulan bundar lalu
Sugeng lengkap baru saja berlutut pada teras Agung
Sugeng bergandengan menyila Sang Segala bertandang
Sugeng dan kelengkapannya beria bahagia in malamnya
Aku tahu ini

Mereka kekasih itu Raja bersenda menyusur jalan gurau menerang malam terkudus
Para Sugeng mampir jenak pada bakul sate ayam terlezat di sebelah di pertigaan di jalan
Beli 20 sate ayam lelumur kacang giling berkecap enak
Tambahannya 4 nasi putih baru masak, bersalut daun pisang harum
Sugeng-Sugeng kembali canda iringi tapak pulang
Aku tahu ini

Sejalur itu, lajur orang berjalan
Luncur maha gajah limbung agaknya menyerta
Berdecit hiasi saling silang upaya menjejak
Tiada bisa daya, tiada bisa upaya, tiada bisa hela
Aku tahu ini


Para Sugeng!
Ditampar maha gajah dari selatan
Tertumbuk bebatu gemercik
Digilas maha aspal jalan raya
Tergiling raja roda sepuluh

Jejerit kaget massa gelimpang
Meraung lolong sekawan sekitar
Menghardik dasyat gagap

Tak nampak lagi yang Sugeng
Tak beda lagi mana 2 anaknya cinta
Tak nyata pula istrinya terkasih
Kececeran jua otaknya
Hambur ruah darah dan limpa
Rombak pula jenjang kaki lentik jemari
Mmeburai hebat relung dada
Porak wajah poranda bokong
Bukan lagi mandi darah,
samudra merah air bah
Satenya ayam enak berantakan

Pestanya hening bertabur damai
Malam ini kudus sungguh
Malam ini suci benar
Sugeng barusan mohon damai hati tulus
Berjuang hidup pada karang culas
Aku pengantar para Sugeng sowan Sang Maha
Aku jagai Sugeng-Sugeng jalan bertamu di rumah Maha Damai
Aku kawalkan Sugeng istri 2 anak jadi warga Damai Surga

Aku tahu ini

Selasa, 16 Desember 2008

AKU BENCI NATAL


Surabaya, 25 Desember 1999

Perang itu terjadi lagi sesaat hampir menjelang
kami semua harus berangkat ke pesta ulang tahun seorang Sahabat.

Perlombaan memaki dimulai lagi.
Petandingan hujatan tak terelakkan.
Perabot beterbangan melintas di atas kepala kami.
Meja berdentum keras digempar angkara.
Kursi-kursi makan tak elak lagi berserak serpih.

Lemari pajangan binasa ditendang kepingan kaca berhambur.
Kipas angin di ruang tamu, melesat menembus pintu depan.
Tivi 21 inch sudah tembus layarnya oleh linggis mengepul asap legam.
Guci-guci keramik telah tak beda mana Jogja mana Plered.

Tangan lentik itu tak kusangka menyambar ganas kedua sisi muka pria itu
Kepalan kekar besar itu melayang dasyat mampir di mata kiri penampar.
Bibir lelaki itu menetes darah.
Perempuan itu terkulai.

Lelaki kekar itu keluar,
tunggangi kuda besi, berhambur.
Hengkang!

Perempuan itu perlahan bertegak,
terhuyung.
Keluar pagar bak angin tak arah kompas.

Aku bersembunyi ketakutan di pojok di balik meja besar itu
tiada yang aku buat dapat.
Menitik air mata dengan pandangan nol pucat
air muka kosong menggigil kencang.
Adik 6 bulan di pelukku
menangis keras serak parau parahkan suasana.

Hari itu,
mereka berkelahi lagi
Mereka perang dengan buasnya.

Hari itu
pertempuran terkutuk ganas binatang
paling sangat brutal menakutkan

Sepagi hingga malam itu
nafas tersengal-sengal
kami dibunuh
ditikam
dicabik
orang tua sendiri

Hari itu,
tiga puluh delapan tahun lalu,
hari kami harus ke pesta ulang tahun Sahabat kami.

Sedari hari,
maaf Teman,

aku benci Natal

Sabtu, 06 Desember 2008




Saya kok nggak yakin klo Anda nggak punya teman. Apakah teman di kampung, teman satu kerjaan, teman sekantor, teman kencan, atau bahkan teman makan (alias krupuk hehehehe). Pokoknya teman

Award "forever friend" saya persembahkan untuk para blogger yang aktif ngeblog. Bagi yang merasa memenuhi kriteria tersebut, silakan diambil dengna cara apapun.

Terima kasih, Tuhan selalu memberkati usaha baik kita.

KEMBALI

Surabaya, 5 Desember 1999

Ketika mulai kutapakkan indera berjalan
di terowongan ini,
dengan tak sadar kebijaksanaan berpaling telah.

Saat langkah-langkahku membawa
jauh di tengah terowongan,
tidak tampak lagi kedewasaan menyerta.

Dan telah jauh masuk terowongan ini,
baru aku sadar aku sendirian.

Aku mata terbuka untuk kembali harus.
Rasa belum terlambat,
meski tubuh terkoyak tercabik pedang berkarat.

Berharap lihat cahaya setitik.
Terang diremang
belum nampak benderang.
Yakin di lubuk jiwa kan jumpa Sang Sinar.


Robin Moyer pada 1982 memotret beberapa jenazah pengungsi Palestina yang dibantai di Beirut, Lebanon.
jika hati bergetar,
andai darah mendidih,
rangkai kata kunanti
pada puisilombok@gmail.com