Kamis, 28 Mei 2009

Dirubung Bodrek


Ini terjadi waktu saya jadi panitia (tepatnya koordinator pers) di Gebyar Budaya dan Doa Bersama “Bangkit Indonesiaku” di gedung SIBEC ITC Mega Grosir, Rabu (27/5). Sebagai pejabat di posisi ini, saya bertugas mengundang rekan-rekan pers, membuat rilis, mendistribusikan id card, mengliping berita, dan pastinya membagikan makan malam untuk para rekan wartawan.

Gelagat aneh sudah nampak pada jumpa pers sehari sebelum pagelaran, tepatnya Selasa (26/5). Apalagi sehari sebelumnya ketua panitia meminta saya menelepon redaktur harian FAKTA METROPOLIS agar datang meliput. By the way, apa ada yang pernah dengar media ini?

Saat pembagian id card usai jumpa pers, berbagai bodrek dengan nama media yang aneh mengerubuti saya. Salah satunya dari OPSI. Anehnya ada seorang (ngakunya) wartawan dari KORAN OPSI NASIONAL. Saya sempat heran dan berani tanya, ”Lho tadi dari OPSI sudah saya beri id card. Kok Bapak minta lagi?”

Lalu dengan santay dia menjawab, ”Itu kan OPSI, Mas,”
”Lha kalau Bapak?”
”Saya KORAN OPSI NASIONAL. Korannya ada kok, saya bawa. Mau liat?” jawabnya antusias.
”Oh ndak usah, Pak.” sambil saya beri id card. Saya males berdebat apakah korannya eksis atau tidak. Saya pikir percuma ngotot sama orang nggak waras.

Hari yang dinanti datang juga. Bahkan waktu saya masih di perjalanan menuju TKP, Fauzy, yang ngaku wartawan Jakarta Post (tanpa the di depan) meng-sms saya telah menunggu saya di meja konsumsi panitia di dalam gedung. Dia minta id card.

Saya sampai di TKP jam 16.00. Id card dan rilis saya berikan ke Fauzy. Ajaibnya, dia langsung minta makan, ”Mas saya bisa dapat makan sekarang?”
Terus terang saya kaget sambil bengong.
”Iki jam piro mas? Mangane gae engko bengi,”
”Bengi jam piro mas?” tanyanya nggak sabar
”Mas, saya diberi kupon makan nasi kotak untuk 94 wartawan. Kalau saya ambil sekarang, apa Sampeyan gak kasian sama saya? Ke mana-maka mekeh-mekeh bawa semua nasi kotak itu?”
”O ya sudah kalau gitu,” jawabnya kecut.
”Tenang aja lah Mas! Kata panitia, jam 18 jatah bisa diambil,” kilah saya

Puncak golgota sudah mulai terlihat. Jam 18 tepat, si Fauzy ini mendatangi saya, ”Mas ini sudah jam 6, katanya mau mbagi makan?”
”Ya! Ayo bantu saya ambil makan!”

Setelah menukar kupon, saya mendapat 94 nasi kotak dan 2 dos air mineral kemasan gelas. Saya letakkan di pojok belakang ruangan.

Inilah puncak golgota!
Para laskar apotik itu langsung bergerombol menyerbu saya persis seperti antrean zakat maut Pasuruan. Semua membentak, njawil, dan merengek minta jatah makan. Saya beri mereka jatah makan setelah menyebut asal media mereka. Dasar bodrek, medianya juga gak jelas namanya. Aneh dan cenderung norak. Bahkan ada yang minta 2 sampai 3 kotak. Alasannya untuk temannya. ”Suruh datang ke sini sendiri!” perintah saya. Gitu ya dilaksanakan. Hehehe berarti saya berwibawa! Hahahha

Di tengah pembagian itu, ada seorang laki-laki berbadan tinggi besar pakai kaus putih gambar Miki Mouse. Sambil agak membentak, dia minta jatah makan.
”Saya belum dapat makan, Mas”
”Sampeyan dari mana?” tanya saya cuek
”Dari pers,” jawabnya ketus tus tus tus
”Lha iya, pers mana?”
Kontan dia menunjukkan kegoblokannya dengan berpaling nanya ke 2 temannya, ”Eh, awak dewe teko pers opo?”
Kontan saya tolak dengan nada agak keras, ”Wis talah, Mas. Gak usah mbujuki. Sego iki khusu gawe pers. Liyone NO WAY”
Rupanya dia kesal dan balik membentak, ”Aku iki teko polwil!”
“Ealah… gak ngomong ket mau. Sepurane, Cak!” sambil saya jabat tangannya dan 2 temannya yang lain yang nunggu sambil duduk dan tersenyum kecut.
“Mas, jatah kita dibawa keluar. Nggak tau siapa yang bawa,” kata teman orang itu yang mungkin juga intel.
”Wah, kalau itu saya gak bisa bantu. Mohon maaf,”
Masih dengan nada kesal dan agak tinggi dia tanya lagi ke saya, ”Sampeyan wartawan opo?”
Lalu saya sebutkan media saya. Eh dia langsung nunduk malu. Hahaha... kira-kira kenapa nunduk ya? Deng dong!

Belum selesai....

Lalu seorang ibu sekitar umur 50 tahunan datang dengan membawa id card acara bertulis OPSI, ”Mas, saya belum dapat makan. Mana jatah saya?”
”Ibu dari OPSI?”
”Iya. Apa Mas nggak bisa liat ini?” sambil menunjukkan id card kegiatan ke muka saya.
”Tadi jatah untuk OPSI sudah diambil. 2 kotak lho, Bu”
”Siapa yang ngambil?”
”Nggak tau, Bu. Kan tadi banyak orang. Yang jelas sudah diambil. Satu media dapat 2 kotak,” jawab saya sambil sedikit ngaco
”Lho saya ini laper belum makan. Gimana tanggung jawab panitia?”

Sebenarnya masih ada sekitar 50an nasi. Tapi saya berkeras tidak mau memberi. Karena bisa-bisa semua akan minta.
”Bu, ini buat temen-temen wartawan yang mungkin datang agak terlambat. Kalau habis kan kasihan mereka. Kalau ibu mau, ya silakan nunggu sampai acara selesai. Kalau masih ada, monggo makan,”
”Wah yo selak keluwen, Mas,”
”Ya terserah ibu,”
Lalu dia ngeloyor.

Tidak lama kemudian, datang seorang bodrek perempuan minta 2 nasi, ”Satu lagi buat temenku, Mas.” katanya tanpa beban
”Suruh datang sendiri, Bu”

Lalu dia datang seperti tanpa beban. Dasar iseng, saya tanya dia apakah dia pers, dan dari media apa?
”Ibu mau apa?”
”Makan”
”Ibu dari media apa?”
”Ha? Ee... e....” dia terlihat kebingungann sambil terbata-bata.
”Ibu wartawan?”
Anehnya dia menjawab dengan wajah cerah, tersenyum, dan tanpa beban, ”Oh bukan. Yang wartawan suami saya, Mas,”
”Ya gak bisa, Bu. Ini nasi khusus untuk wartawan bukan untuk keluarga wartawan,”
Mundur teraturlah dia, hahahaha...

Lama berselang, seorang bodrek berbadan tinggi besar pakai baju hitam-hitam dan topi hitam juga memanggil saya dari jarak sekitar 4 meteran.
”Ndre, sini!” sambil ngawe-awe.
Saya risih. Cukup dijawab dengan mengernyitkan dahi dan menggeleng. Eh dia emosi dan makin memanggil saya dengan nada lebih tinggi.
”Kamu ini, sini kok!”
”Kan Bapak yang butuh, ya Bapak yang ke sini,”
Dengan muka marah dia menghampiri saya, ”Wah arek iki!”
Lalu tangan saya disahut jari-jari besarnya dan menarik saya. Ya jelas nurut terpaksa hehehe... kalah tenaga bos!

”Iku, panitia iku!”
”Kenapa?” tanya saya bingung
”Tadi temen-temen minta kue ke dia tapi gak diberi. Eh, ada orang asing masuk malah diberi,”
”Terus?”
”Ya difoto sama temen-temen. Biar dimuat besar-besar di koran. Biar kapok!”
”Please deh!” batin saya.

Hanya perkara kue diributkan. Mungkin dia berharap saya melarang mereka memuat foto si panitia itu dan memberitakannya. ”Ya gak papa, dimuat aja” sahut saya enteng.

Yang terakhir datang seorang bodrek berpawakan sedang, mata sipit, kaca mata tebal, selalu berjaket coklat lusuh, dan tas rasnel di punggung. Kumis dan jenggotnya yang tidak rapi dihiasi dengan remah-remah nasi bekas makan malam nasi kotakan. Saya rasa teman-teman tahu orang ini. Dia tanya ke saya sambil terbata-bata, ”Numpang tanya mas. E... e... e... ta..ta..tadi acaranya mu... mulai jam berapa?”
”HAAAAAAAAAAAAAA????” saya kira dia mau nanya hal yang sangat penting, ternyata hanya tanya jam dimulai acara.

Hehehe... saya sangat bersyukur bisa menajabat posisi itu dan mengalami pengalaman emas seperti itu. Ini sungguh pengalaman berharga. Ada yang tertarik mencoba?

3 komentar:

Manda La Mendol mengatakan...

aku tahuuuuuuuuuu , ndre. bolak-balik. Tapi bukan urusan konsumsi. Tapi goddie bag. Ampunn, bisa minta bolak-balik. Pake ngancem. Eh ada satu lagi trik mereka, pake kaos pembagian dari media,yang ada nama medianya. Trus diaku-aku.

btw, ibu-ibu tua yang ngaku wartawan itu sering beredar lho.

LOMBOK! mengatakan...

mbak, aku minta tlg utk nulisken daripada cerita unik mbak tsb. aku mo jadiken buku kumpulan cerita ttg bodrek. thx ya mbak...

Anonim mengatakan...

kalo gak salah...iki seng sampeyan ceritakan ke aku pas kita di polda nunggu mayat kapal kobong dari gresik........



Robin Moyer pada 1982 memotret beberapa jenazah pengungsi Palestina yang dibantai di Beirut, Lebanon.
jika hati bergetar,
andai darah mendidih,
rangkai kata kunanti
pada puisilombok@gmail.com