Rabu, 13 Mei 2009

SOSIALISASI UU 40/1999 MELEMPEM, JURNALIS KALAH TERUS

Penganiayaan dan pelarangan liputan terhadap wartawan kembali terulang. Mulai dari ulah para satpam PLN Jatim yang melarang dan menganiaya sejumlah jurnalis, pemukulan bonek terhadap wartawan Surya, hingga yang terbaru pelarangan dan penganiayaan terhadap Carlos Pardede, reporter SCTV.

Hampir semua media memberitakan peristiwa tersebut. Terutama kasus yang paling akhir, yaitu yang dialami reporter dan kamerawan SCTV. Semua institusi media habis-habisan menyerang satpam BI dengan mengatakan bahwa kelakuan para satuan pengamanan itu telah melanggar pasal 18 UU 40/1999 tentang Pers.

Saya sendiri juga korban penganiayaan saat melakukan tugas jurnalistik. Seorang satpam dan karyawan UPN Jatim memukuli dan merusak kamera saya saat meliput unjuk rasa mahasiswa di kampus tersebut. Peristiwa itu terjadi pada 25 April 2006.

Pekerjaan seorang jurnalis dilindungi oleh hukum seperti yang tertera dalam pasal 8. Secara eksplisit ditulis, ”Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum”

Sayangnya perlindungan hukum seperti apa yang didapat wartawan saat berugas, tidak jelas. Buktinya kasus usang seperti ini terus-terusan terjadi. Pers menjadi bulan-bulanan masyarakat di lapangan. Dipukul, dianiaya, dihalangi, bahkan ada yang dibunuh gara-gara menulis.

Dengan era digital yang serba cepat ini, tidak sulit untuk mendapatkan sebuah referensi. Apalagi untuk mencari dan membaca UU 40/1999 tentang Pers. Kunjungi saja sebuah search engine di internet, lalu ketik UU 40/1999 tentang Pers. Di situ akan muncul ribuan situs yang memuat undang-undang ini.

Lantas jika itu sangat mudah seperti membalikkan telapak tangan, muncul sebuah pertanyaan mendasar. Apakah masyarakat tidak paham tentang aturan itu?

Jika pers mau introspeksi diri, masyarakat tidak bisa serta merta disalahkan. Karena tidak semua warga bisa dan mau mengakses internet dan memperkaya diri dengan pengetahuan. Tidak sedikit masyarakat kita yang tidak paham dengan internet. Banyak juga yang tidak mau ambil pusing dengan keberadaan pers.

Pengalaman di lapangan membuktikan. Jika seorang pengusaha sedang tersandung kasus, kebanyakan mereka akan menutup diri tidak mau memberi keterangan pada pers. Jurnalis dianggap mengganggu kehidupan mereka. Padahal tugas wartawan adalah mencari konfirmasi, sehingga berita yang disajikan berimbang sehingga layak dikonsumsi masyarakat. Namun hal ini cukup sulit dilalui, apalagi jika perusahaan tersebut kurang paham dan cenderung tidak ambil peduli dengan dunia jurnalistik.

Tapi keadaan justru berbalik ketika berita yang disajikan mereka anggap menyinggung. Buntutnya, pers kena gugat di pengadilan. Padahal pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan bisa meminta hak jawab. Pers Indonesia wajib melayani hak jawab seperti yang diamantkan dalam UU 40/1999 tentang Pers tepatnya pasal 5 ayat 2. Kalau media tidak mau melayani hak jawab, masyarakat bisa mengadu ke Dewan Pers. Segala pintu sebenarnya sudah tersedia bagi masyarakat, dan tentu saja gratis.

Hak jawab hanya diberikan media ketika berita itu sudah dimuat atau ditayangkan. Jika tidak disiarkan, otomatis masyarakat tidak bisa mendapatkan hak jawab.

Kewajiban seorang wartawan adalah liputan. mencari, mengumpulkan, dan mengolah data menjadi laporan jurnalistik. Eksekusi menayangkan berita bukan wewenang wartawan yang meliput. Hal itu menjadi hak penuh seorang pimpinan redaksi. Jadi sebuah liputan belum tentu bisa diberitakan. Alasannya beragam. Mulai dari ruang berita yang sudah penuh, data yang belum akurat, hingga berita yang rawan menimbulkan perpecahan bangsa.

Dengan alasan itu, tidak ada seorangpun yang boleh menghalangi wartawan meliput berita. Karena bisa saja berita yang didapat tidak ditayangkan/ dimuat. Jika dimuat dan masyarakat tidak suka, bisa menggunakan hak jawab. Bagaimana jika tidak dimuat tapi wartawan sudah terlanjur jadi korban penganiayaan?

Beberapa waktu lalu saat AJI Surabaya mendampingi Akbar Insani, fotografer Surabaya Pagi, melaporkan pelarangan terhadap dirinya ke Polwiltabes Surabaya oleh sejumlah satpam PLN Jatim, mendapati hal unik. Tim advokasi meminta petugas SPK (Sentra Pelayanan Kepolisian) untuk menggunakan pasal 18 UU 40/1999 tentang Pers sebagai undang-undang yang dilanggar para satpam.

Namun menurut petugas polisi yang piket, logika hukum harus menggunakan KUH Pidana dahulu, yaitu pasal perbuatan tidak menyenangkan. Hal pelarangan meliput, pasal 18 UU 40/1999 tentang Pers kemudian menyertai.

Jika masyarakat dibagikan salinan UU 40/1999 tentang Pers, bisa dipastikan mereka bisa membacanya. Tapi bagaimana mereka mampu memahami intisari dari undang-undang tersebut, itu yang menjadi masalah. Harus ada sebuah forum untuk menjelaskan kepada masyarakat. Apakah itu warga sipil ataupun aparat penegak hukum. Bahasa populernya, sosialisasi.

Lalu, siapa yang wajib melakukan sosialisasi UU 40/1999 tentang Pers? Jawabannya adalah insan pers sendiri. Jika pers peduli dengan pekerjaannya dan hak masyarakat mendapatkan segala informasi yang bermutu, maka jurnalis bersama dengan media tempatnya bekerja harus merasa perlu melakukan sosialisasi.

Jika pers lepas tangan, pelarangan, penganiayaan, dan pembunuhan terhadap jurnalis pasti akan terus terjadi. Wartawan akan dipandang sebelah mata oleh masyarakat, dan tidak punya wibawa.

Penganiayaan dan pelarangan liputan terhadap wartawan kembali terulang. Jika saat ini marak pelakunya adalah satpam, itu hanya kebetulan saja. Suatu saat bisa saja pelakunya adalah masyarakat sipil biasa. Pelarangan dan penganiayaan terhadap jurnalis akan terus terjadi jika kita sendiri hanya diam.

Sudah saatnya pers bangkit dan bergerak. Sosialisasi UU 40/1999 tentang Pers mutlak harus dilakukan oleh pers sendiri. Tidak selalu harus dalam sebuah forum besar dan formal. Penjelasan kepada masyarakat juga bisa dilakukan pada saat informal, waktu nongkrong di warung misalnya. Mengapa tidak?

Tidak ada komentar:



Robin Moyer pada 1982 memotret beberapa jenazah pengungsi Palestina yang dibantai di Beirut, Lebanon.
jika hati bergetar,
andai darah mendidih,
rangkai kata kunanti
pada puisilombok@gmail.com