Jumat, 23 April 2010

JADI GURU?


Surabaya, 12 April 2000

Tersebut mahasiswa—semata wayang sesuami istripejabat eselon IIA kaya hidup di metropolis berlimpahan dunia bermandi rupiah berjuta dusta—bergelut teori beribu perpustakaan beratus miliar halaman buku filosofi ditelan, berpuluh-puluhjuta praktek dilakoni demi IP 3 koma. Tak nista bila kini sang bocah dewasa telah dan berlengkap dengan sepasang kacamata nangkring tepat di depan bola dua matanya.

Telah dari tahun awal SMA bertekat bulat berguru hendak jadi guru.
Masuklah ia di Keguruan dan Ilmu Pendidikan jauh dari orang tuanya.
Menyewa tempat tinggal sekamar dengan lembab pengap bau khas dikta-diktat tua, kamus tebal bilingual, ensiklopedia 7 volume, dan 4 thesaurus 5 senti.

Tak dilupa berturut jadi peserta seminar, dialog interaktif, debat terbuka, dan beraktif di simposium-simposium berbau pendidikna di nusantara.

Lima tahun akhirnya komplit studinya. Lulus jenjang Stratum 1 kini resmi siap jadi guru dan diakui negara boleh mengajar SMA ke bawah.
Tujuan pertama adalah rumah kedua orang tua tercinta di kota metropolisnya yang biar meskipun terus dapat kalpataru tapi masih tetap jorok bau tak karuan.

Setiba di teras mengkilap sang ayah ibu erat memeluk sang anak semata wayang.

8 x 24 jam sudah telah sungguh-sungguh ia di rumah.
Lalu diutarakannyalah maksud yang dicita sejak SMA. Jadi guru.

Sang ayah kaget terperanjat. Berujar, “Lalu siapa hendak meneruskan kehartaan ayah ibumu, Nak, Ngger, Cah bagus?”
Sang anak bertutur, “Inilah jalanku. Inilah panggilan. Hati nurani.”
Ibunya mengucap, “Sudah telah mulus jalanmu langsung ke tingkat eselon III A. Telah berdua ayah ibu siapkan hanya untukmu, jodohpun telah menunggu kau sunting. Jangan patahkan hati ayah ibumu, Nak.”
Sang anak bertutur lagi, “Inilah jalanku. Inilah panggilan. Hati nurani.”

Sang ayah geram menghardik menggebrak meja menampar jatuh terperosok sang anak yang dianggapnya durhaka seraya membentak, “Hendak aku taruh apa dalam sendok suapan anakmu, Bangsat keparat?”

Tidak ada komentar:



Robin Moyer pada 1982 memotret beberapa jenazah pengungsi Palestina yang dibantai di Beirut, Lebanon.
jika hati bergetar,
andai darah mendidih,
rangkai kata kunanti
pada puisilombok@gmail.com