Kamis, 28 Mei 2009
Dirubung Bodrek
Ini terjadi waktu saya jadi panitia (tepatnya koordinator pers) di Gebyar Budaya dan Doa Bersama “Bangkit Indonesiaku” di gedung SIBEC ITC Mega Grosir, Rabu (27/5). Sebagai pejabat di posisi ini, saya bertugas mengundang rekan-rekan pers, membuat rilis, mendistribusikan id card, mengliping berita, dan pastinya membagikan makan malam untuk para rekan wartawan.
Gelagat aneh sudah nampak pada jumpa pers sehari sebelum pagelaran, tepatnya Selasa (26/5). Apalagi sehari sebelumnya ketua panitia meminta saya menelepon redaktur harian FAKTA METROPOLIS agar datang meliput. By the way, apa ada yang pernah dengar media ini?
Saat pembagian id card usai jumpa pers, berbagai bodrek dengan nama media yang aneh mengerubuti saya. Salah satunya dari OPSI. Anehnya ada seorang (ngakunya) wartawan dari KORAN OPSI NASIONAL. Saya sempat heran dan berani tanya, ”Lho tadi dari OPSI sudah saya beri id card. Kok Bapak minta lagi?”
Lalu dengan santay dia menjawab, ”Itu kan OPSI, Mas,”
”Lha kalau Bapak?”
”Saya KORAN OPSI NASIONAL. Korannya ada kok, saya bawa. Mau liat?” jawabnya antusias.
”Oh ndak usah, Pak.” sambil saya beri id card. Saya males berdebat apakah korannya eksis atau tidak. Saya pikir percuma ngotot sama orang nggak waras.
Hari yang dinanti datang juga. Bahkan waktu saya masih di perjalanan menuju TKP, Fauzy, yang ngaku wartawan Jakarta Post (tanpa the di depan) meng-sms saya telah menunggu saya di meja konsumsi panitia di dalam gedung. Dia minta id card.
Saya sampai di TKP jam 16.00. Id card dan rilis saya berikan ke Fauzy. Ajaibnya, dia langsung minta makan, ”Mas saya bisa dapat makan sekarang?”
Terus terang saya kaget sambil bengong.
”Iki jam piro mas? Mangane gae engko bengi,”
”Bengi jam piro mas?” tanyanya nggak sabar
”Mas, saya diberi kupon makan nasi kotak untuk 94 wartawan. Kalau saya ambil sekarang, apa Sampeyan gak kasian sama saya? Ke mana-maka mekeh-mekeh bawa semua nasi kotak itu?”
”O ya sudah kalau gitu,” jawabnya kecut.
”Tenang aja lah Mas! Kata panitia, jam 18 jatah bisa diambil,” kilah saya
Puncak golgota sudah mulai terlihat. Jam 18 tepat, si Fauzy ini mendatangi saya, ”Mas ini sudah jam 6, katanya mau mbagi makan?”
”Ya! Ayo bantu saya ambil makan!”
Setelah menukar kupon, saya mendapat 94 nasi kotak dan 2 dos air mineral kemasan gelas. Saya letakkan di pojok belakang ruangan.
Inilah puncak golgota!
Para laskar apotik itu langsung bergerombol menyerbu saya persis seperti antrean zakat maut Pasuruan. Semua membentak, njawil, dan merengek minta jatah makan. Saya beri mereka jatah makan setelah menyebut asal media mereka. Dasar bodrek, medianya juga gak jelas namanya. Aneh dan cenderung norak. Bahkan ada yang minta 2 sampai 3 kotak. Alasannya untuk temannya. ”Suruh datang ke sini sendiri!” perintah saya. Gitu ya dilaksanakan. Hehehe berarti saya berwibawa! Hahahha
Di tengah pembagian itu, ada seorang laki-laki berbadan tinggi besar pakai kaus putih gambar Miki Mouse. Sambil agak membentak, dia minta jatah makan.
”Saya belum dapat makan, Mas”
”Sampeyan dari mana?” tanya saya cuek
”Dari pers,” jawabnya ketus tus tus tus
”Lha iya, pers mana?”
Kontan dia menunjukkan kegoblokannya dengan berpaling nanya ke 2 temannya, ”Eh, awak dewe teko pers opo?”
Kontan saya tolak dengan nada agak keras, ”Wis talah, Mas. Gak usah mbujuki. Sego iki khusu gawe pers. Liyone NO WAY”
Rupanya dia kesal dan balik membentak, ”Aku iki teko polwil!”
“Ealah… gak ngomong ket mau. Sepurane, Cak!” sambil saya jabat tangannya dan 2 temannya yang lain yang nunggu sambil duduk dan tersenyum kecut.
“Mas, jatah kita dibawa keluar. Nggak tau siapa yang bawa,” kata teman orang itu yang mungkin juga intel.
”Wah, kalau itu saya gak bisa bantu. Mohon maaf,”
Masih dengan nada kesal dan agak tinggi dia tanya lagi ke saya, ”Sampeyan wartawan opo?”
Lalu saya sebutkan media saya. Eh dia langsung nunduk malu. Hahaha... kira-kira kenapa nunduk ya? Deng dong!
Belum selesai....
Lalu seorang ibu sekitar umur 50 tahunan datang dengan membawa id card acara bertulis OPSI, ”Mas, saya belum dapat makan. Mana jatah saya?”
”Ibu dari OPSI?”
”Iya. Apa Mas nggak bisa liat ini?” sambil menunjukkan id card kegiatan ke muka saya.
”Tadi jatah untuk OPSI sudah diambil. 2 kotak lho, Bu”
”Siapa yang ngambil?”
”Nggak tau, Bu. Kan tadi banyak orang. Yang jelas sudah diambil. Satu media dapat 2 kotak,” jawab saya sambil sedikit ngaco
”Lho saya ini laper belum makan. Gimana tanggung jawab panitia?”
Sebenarnya masih ada sekitar 50an nasi. Tapi saya berkeras tidak mau memberi. Karena bisa-bisa semua akan minta.
”Bu, ini buat temen-temen wartawan yang mungkin datang agak terlambat. Kalau habis kan kasihan mereka. Kalau ibu mau, ya silakan nunggu sampai acara selesai. Kalau masih ada, monggo makan,”
”Wah yo selak keluwen, Mas,”
”Ya terserah ibu,”
Lalu dia ngeloyor.
Tidak lama kemudian, datang seorang bodrek perempuan minta 2 nasi, ”Satu lagi buat temenku, Mas.” katanya tanpa beban
”Suruh datang sendiri, Bu”
Lalu dia datang seperti tanpa beban. Dasar iseng, saya tanya dia apakah dia pers, dan dari media apa?
”Ibu mau apa?”
”Makan”
”Ibu dari media apa?”
”Ha? Ee... e....” dia terlihat kebingungann sambil terbata-bata.
”Ibu wartawan?”
Anehnya dia menjawab dengan wajah cerah, tersenyum, dan tanpa beban, ”Oh bukan. Yang wartawan suami saya, Mas,”
”Ya gak bisa, Bu. Ini nasi khusus untuk wartawan bukan untuk keluarga wartawan,”
Mundur teraturlah dia, hahahaha...
Lama berselang, seorang bodrek berbadan tinggi besar pakai baju hitam-hitam dan topi hitam juga memanggil saya dari jarak sekitar 4 meteran.
”Ndre, sini!” sambil ngawe-awe.
Saya risih. Cukup dijawab dengan mengernyitkan dahi dan menggeleng. Eh dia emosi dan makin memanggil saya dengan nada lebih tinggi.
”Kamu ini, sini kok!”
”Kan Bapak yang butuh, ya Bapak yang ke sini,”
Dengan muka marah dia menghampiri saya, ”Wah arek iki!”
Lalu tangan saya disahut jari-jari besarnya dan menarik saya. Ya jelas nurut terpaksa hehehe... kalah tenaga bos!
”Iku, panitia iku!”
”Kenapa?” tanya saya bingung
”Tadi temen-temen minta kue ke dia tapi gak diberi. Eh, ada orang asing masuk malah diberi,”
”Terus?”
”Ya difoto sama temen-temen. Biar dimuat besar-besar di koran. Biar kapok!”
”Please deh!” batin saya.
Hanya perkara kue diributkan. Mungkin dia berharap saya melarang mereka memuat foto si panitia itu dan memberitakannya. ”Ya gak papa, dimuat aja” sahut saya enteng.
Yang terakhir datang seorang bodrek berpawakan sedang, mata sipit, kaca mata tebal, selalu berjaket coklat lusuh, dan tas rasnel di punggung. Kumis dan jenggotnya yang tidak rapi dihiasi dengan remah-remah nasi bekas makan malam nasi kotakan. Saya rasa teman-teman tahu orang ini. Dia tanya ke saya sambil terbata-bata, ”Numpang tanya mas. E... e... e... ta..ta..tadi acaranya mu... mulai jam berapa?”
”HAAAAAAAAAAAAAA????” saya kira dia mau nanya hal yang sangat penting, ternyata hanya tanya jam dimulai acara.
Hehehe... saya sangat bersyukur bisa menajabat posisi itu dan mengalami pengalaman emas seperti itu. Ini sungguh pengalaman berharga. Ada yang tertarik mencoba?
Selasa, 19 Mei 2009
Kenapa Mereka Jahat, Mak? (In Memoriam SITI KHOIYAROH)
oleh: Eddy Prasetyo - Reporter suarasurabaya.net
Serasa baru kemarin aku membelikannya tas baru untuknya sekolah. Ya, memang bulan Juni depan dia akan masuk taman kanak-kanak di dekat rumah kami. Ini adalah awal buat dia menapak kejamnya dunia, seperti yang aku dan MAT NAKI suamiku, alami. Yang penting dia jangan seperti aku, yang tiap harinya harus jual pentol di Boulevard WTC. Aku kepingin YAROH anakku jadi nyai...
Terbayang dia nanti besarnya seperti AA' GYM...haha...AA' GYM perempuan tapinya. Bakat-bakat jadi nyai sebenarnya sudah aku endus sejak dia mulai pintar bicara. Untuk kemampuannya yang satu ini, banyak kerabat dan tetanggaku jadi jatuh hati pada YAROH. Pernah satu hari kami setengah mati mencarinya. Namanya anak satu-satunya, saya pikir dia hilang. Ternyata dia main ke rumah tetangga kami yang agak jauh...katanya dia sangat menggemaskan. Sampai-sampai tetangga kami itu lupa mengembalikan YAROHku ke rumahnya.
Rumah kontrakan kami di Jl. Kedung Klinter IV/33 memang sangat sederhana. Bahkan kalau mau dibilang tidak terlalu nyaman untuk ditinggali. Tapi tidak mengapa. Yang penting kami bisa hidup bahagia bersama suamiku dan YAROH. Kami bersyukur punya tetangga yang baik hati. Begitu juga kerabat kami, Mbak MASRU'AH. Dia sudah seperti ibu kedua buat YAROH. Kalau kami bekerja jualan pentol, YAROH sering kami titipkan pada mereka.
Tapi kejadian 11 Mei 2009 seminggu lalu mungkin jadi hari apesnya buat YAROH. Entah kenapa aku ingin sekali membawa YAROH bersama kami jualan pentol. Tidak ada sedikitpun firasat hari itu akan berakhir buruk. Yang penting, seperti hari biasanya, kami harus membawa pulang uang untuk membayar kontrakan dan tentunya, uang tabungan untuk YAROH sekolah.
Astaghfirullah, aku tidak mau mengingat kejadian itu. Terlalu pedih rasanya. Terlalu menyakitkan...melihat anakku mengelupas kulitnya terkena siraman kuah pentol daganganku. Aku sendiri terlalu panik saat itu menghindari mereka yang dengan sangat buas mengejar kami. Aku takut satu-satunya rombong kami mencari nafkah diambil mereka. Menyesal rasanya meletakkan YAROH di di atas rombongku saat itu. Tapi mengapa mereka melakukannya? Mengapa mereka mengambil anakku satu-satunya? Mengapa mereka tidak memberi kami kesempatan untuk menyekolahkan YAROH?
Saat kawan seperjuangan kami berdagang di Boulevard WTC melarikan sepeda motornya ke RSU dr Soetomo dengan YAROH di pangkuanku, aku hanya bisa mengingat dia berkata lirih, "Mak....Panas, Mak!?" Hati ibu mana yang bisa tahan mendengar putri semata wayangnya seperti ini. Bahkan pedihnya air panas yang menyiram tanganku tak lagi kurasakan.
Terus terang, aku sangat takut kehilangan YAROH saat itu. Aku cuma bisa berdoa, seperti yang diajarkan ibu kalau aku sedang kesusahan. Apapun doa yang kuhapal kubaca saat itu. Kiranya Tuhan mendengar. Hari demi hari kami lalui di RSU dr Soetomo, aku dan suami tak bisa lagi konsentrasi bekerja. Mau bekerja bagaimana? Wong rombongku sudah terbakar. Tapi Alhamdulillah Pemkot Surabaya membebaskan biaya berobat YAROH.
Sedih rasanya melihat YAROH dalam kondisi tak berdaya seperti ini. Seperti mumi saja dia. Tubuhnya dibebat hanya bersisa mata, lubang hidung, dan mulut. Kata dokter, YAROH menderita luka bakar 67%. Aku tidak tahu angka-angka itu, tapi melihatnya saja aku sudah tahu itu sungguh parah.
Saat dirawat di unit luka bakar rumah sakit ini, YAROH beberapa kali dikunjungi tetangga dan beberapa kerabat kami dari Sampang, Madura. Senangnya bukan main dia. Sempat beberapa kali dia berceloteh padaku. Yang paling kuingat adalah pertanyaan ini : "Mak, kenapa polisi-polisi (Satpol PP) itu mau tangkap emak? Mereka jahat ya, Mak? Dibeleh aja Mak mereka!" Mau menangis saja kalau mengingat dia berkata itu.
Sekarang aku sudah tidak punya YAROH lagi. Tidak tahu ke mana saya mengadu. Ke Tuhan saja mungkin cukup. Andai saja kupunya kekuatan memutar kembali waktu, tidak akan kubawa YAROH waktu itu jualan pentol. Tapi sudahlah....semuanya sudah terjadi. Aku sudah pasrah. Aku terlalu miskin untuk mengadu ke mereka. Mereka terlalu kuat, punya uang untuk membeli apa saja, punya kepalan tangan untuk menonjok siapa saja. Punya kekuasaan untuk mengubah segalanya, termasuk mengubah nasibku. Aku terlalu miskin untuk bisa berbuat sesuatu, meskipun untuk YAROH sekalipun yang saat ini sudah menyatu dengan bumi.
Aku hanya punya tas sekolahnya yang kubeli beberapa hari lalu untuk mengingat kata-katanya : "Mak, kenapa polisi-polisi (Satpol PP) itu mau tangkap emak? Mereka jahat ya, Mak?
Selamat jalan, YAROH, aku yakin kamu di surga sana jadi nyai terhebat. Lebih hebat dari AA' GYM sekalipun. Kami semua sayang kamu....:(
In Memoriam :
SITI KHOIYAROH gadis 4 tahun yang meninggal Senin, 18 Mei 2009 pukul 15.25 WIB. Ia meninggal setelah seminggu dirawat di unit luka bakar RSU dr Soetomo akibat luka bakar tersiram kuah mendidih pentol saat berlangsungnya penertiban PKL Boulevard WTC.
foto: Eddy Prasetyo dan Andreas Wicaksono
Rabu, 13 Mei 2009
SOSIALISASI UU 40/1999 MELEMPEM, JURNALIS KALAH TERUS
Penganiayaan dan pelarangan liputan terhadap wartawan kembali terulang. Mulai dari ulah para satpam PLN Jatim yang melarang dan menganiaya sejumlah jurnalis, pemukulan bonek terhadap wartawan Surya, hingga yang terbaru pelarangan dan penganiayaan terhadap Carlos Pardede, reporter SCTV.
Hampir semua media memberitakan peristiwa tersebut. Terutama kasus yang paling akhir, yaitu yang dialami reporter dan kamerawan SCTV. Semua institusi media habis-habisan menyerang satpam BI dengan mengatakan bahwa kelakuan para satuan pengamanan itu telah melanggar pasal 18 UU 40/1999 tentang Pers.
Saya sendiri juga korban penganiayaan saat melakukan tugas jurnalistik. Seorang satpam dan karyawan UPN Jatim memukuli dan merusak kamera saya saat meliput unjuk rasa mahasiswa di kampus tersebut. Peristiwa itu terjadi pada 25 April 2006.
Pekerjaan seorang jurnalis dilindungi oleh hukum seperti yang tertera dalam pasal 8. Secara eksplisit ditulis, ”Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum”
Sayangnya perlindungan hukum seperti apa yang didapat wartawan saat berugas, tidak jelas. Buktinya kasus usang seperti ini terus-terusan terjadi. Pers menjadi bulan-bulanan masyarakat di lapangan. Dipukul, dianiaya, dihalangi, bahkan ada yang dibunuh gara-gara menulis.
Dengan era digital yang serba cepat ini, tidak sulit untuk mendapatkan sebuah referensi. Apalagi untuk mencari dan membaca UU 40/1999 tentang Pers. Kunjungi saja sebuah search engine di internet, lalu ketik UU 40/1999 tentang Pers. Di situ akan muncul ribuan situs yang memuat undang-undang ini.
Lantas jika itu sangat mudah seperti membalikkan telapak tangan, muncul sebuah pertanyaan mendasar. Apakah masyarakat tidak paham tentang aturan itu?
Jika pers mau introspeksi diri, masyarakat tidak bisa serta merta disalahkan. Karena tidak semua warga bisa dan mau mengakses internet dan memperkaya diri dengan pengetahuan. Tidak sedikit masyarakat kita yang tidak paham dengan internet. Banyak juga yang tidak mau ambil pusing dengan keberadaan pers.
Pengalaman di lapangan membuktikan. Jika seorang pengusaha sedang tersandung kasus, kebanyakan mereka akan menutup diri tidak mau memberi keterangan pada pers. Jurnalis dianggap mengganggu kehidupan mereka. Padahal tugas wartawan adalah mencari konfirmasi, sehingga berita yang disajikan berimbang sehingga layak dikonsumsi masyarakat. Namun hal ini cukup sulit dilalui, apalagi jika perusahaan tersebut kurang paham dan cenderung tidak ambil peduli dengan dunia jurnalistik.
Tapi keadaan justru berbalik ketika berita yang disajikan mereka anggap menyinggung. Buntutnya, pers kena gugat di pengadilan. Padahal pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan bisa meminta hak jawab. Pers Indonesia wajib melayani hak jawab seperti yang diamantkan dalam UU 40/1999 tentang Pers tepatnya pasal 5 ayat 2. Kalau media tidak mau melayani hak jawab, masyarakat bisa mengadu ke Dewan Pers. Segala pintu sebenarnya sudah tersedia bagi masyarakat, dan tentu saja gratis.
Hak jawab hanya diberikan media ketika berita itu sudah dimuat atau ditayangkan. Jika tidak disiarkan, otomatis masyarakat tidak bisa mendapatkan hak jawab.
Kewajiban seorang wartawan adalah liputan. mencari, mengumpulkan, dan mengolah data menjadi laporan jurnalistik. Eksekusi menayangkan berita bukan wewenang wartawan yang meliput. Hal itu menjadi hak penuh seorang pimpinan redaksi. Jadi sebuah liputan belum tentu bisa diberitakan. Alasannya beragam. Mulai dari ruang berita yang sudah penuh, data yang belum akurat, hingga berita yang rawan menimbulkan perpecahan bangsa.
Dengan alasan itu, tidak ada seorangpun yang boleh menghalangi wartawan meliput berita. Karena bisa saja berita yang didapat tidak ditayangkan/ dimuat. Jika dimuat dan masyarakat tidak suka, bisa menggunakan hak jawab. Bagaimana jika tidak dimuat tapi wartawan sudah terlanjur jadi korban penganiayaan?
Beberapa waktu lalu saat AJI Surabaya mendampingi Akbar Insani, fotografer Surabaya Pagi, melaporkan pelarangan terhadap dirinya ke Polwiltabes Surabaya oleh sejumlah satpam PLN Jatim, mendapati hal unik. Tim advokasi meminta petugas SPK (Sentra Pelayanan Kepolisian) untuk menggunakan pasal 18 UU 40/1999 tentang Pers sebagai undang-undang yang dilanggar para satpam.
Namun menurut petugas polisi yang piket, logika hukum harus menggunakan KUH Pidana dahulu, yaitu pasal perbuatan tidak menyenangkan. Hal pelarangan meliput, pasal 18 UU 40/1999 tentang Pers kemudian menyertai.
Jika masyarakat dibagikan salinan UU 40/1999 tentang Pers, bisa dipastikan mereka bisa membacanya. Tapi bagaimana mereka mampu memahami intisari dari undang-undang tersebut, itu yang menjadi masalah. Harus ada sebuah forum untuk menjelaskan kepada masyarakat. Apakah itu warga sipil ataupun aparat penegak hukum. Bahasa populernya, sosialisasi.
Lalu, siapa yang wajib melakukan sosialisasi UU 40/1999 tentang Pers? Jawabannya adalah insan pers sendiri. Jika pers peduli dengan pekerjaannya dan hak masyarakat mendapatkan segala informasi yang bermutu, maka jurnalis bersama dengan media tempatnya bekerja harus merasa perlu melakukan sosialisasi.
Jika pers lepas tangan, pelarangan, penganiayaan, dan pembunuhan terhadap jurnalis pasti akan terus terjadi. Wartawan akan dipandang sebelah mata oleh masyarakat, dan tidak punya wibawa.
Penganiayaan dan pelarangan liputan terhadap wartawan kembali terulang. Jika saat ini marak pelakunya adalah satpam, itu hanya kebetulan saja. Suatu saat bisa saja pelakunya adalah masyarakat sipil biasa. Pelarangan dan penganiayaan terhadap jurnalis akan terus terjadi jika kita sendiri hanya diam.
Sudah saatnya pers bangkit dan bergerak. Sosialisasi UU 40/1999 tentang Pers mutlak harus dilakukan oleh pers sendiri. Tidak selalu harus dalam sebuah forum besar dan formal. Penjelasan kepada masyarakat juga bisa dilakukan pada saat informal, waktu nongkrong di warung misalnya. Mengapa tidak?
Hampir semua media memberitakan peristiwa tersebut. Terutama kasus yang paling akhir, yaitu yang dialami reporter dan kamerawan SCTV. Semua institusi media habis-habisan menyerang satpam BI dengan mengatakan bahwa kelakuan para satuan pengamanan itu telah melanggar pasal 18 UU 40/1999 tentang Pers.
Saya sendiri juga korban penganiayaan saat melakukan tugas jurnalistik. Seorang satpam dan karyawan UPN Jatim memukuli dan merusak kamera saya saat meliput unjuk rasa mahasiswa di kampus tersebut. Peristiwa itu terjadi pada 25 April 2006.
Pekerjaan seorang jurnalis dilindungi oleh hukum seperti yang tertera dalam pasal 8. Secara eksplisit ditulis, ”Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum”
Sayangnya perlindungan hukum seperti apa yang didapat wartawan saat berugas, tidak jelas. Buktinya kasus usang seperti ini terus-terusan terjadi. Pers menjadi bulan-bulanan masyarakat di lapangan. Dipukul, dianiaya, dihalangi, bahkan ada yang dibunuh gara-gara menulis.
Dengan era digital yang serba cepat ini, tidak sulit untuk mendapatkan sebuah referensi. Apalagi untuk mencari dan membaca UU 40/1999 tentang Pers. Kunjungi saja sebuah search engine di internet, lalu ketik UU 40/1999 tentang Pers. Di situ akan muncul ribuan situs yang memuat undang-undang ini.
Lantas jika itu sangat mudah seperti membalikkan telapak tangan, muncul sebuah pertanyaan mendasar. Apakah masyarakat tidak paham tentang aturan itu?
Jika pers mau introspeksi diri, masyarakat tidak bisa serta merta disalahkan. Karena tidak semua warga bisa dan mau mengakses internet dan memperkaya diri dengan pengetahuan. Tidak sedikit masyarakat kita yang tidak paham dengan internet. Banyak juga yang tidak mau ambil pusing dengan keberadaan pers.
Pengalaman di lapangan membuktikan. Jika seorang pengusaha sedang tersandung kasus, kebanyakan mereka akan menutup diri tidak mau memberi keterangan pada pers. Jurnalis dianggap mengganggu kehidupan mereka. Padahal tugas wartawan adalah mencari konfirmasi, sehingga berita yang disajikan berimbang sehingga layak dikonsumsi masyarakat. Namun hal ini cukup sulit dilalui, apalagi jika perusahaan tersebut kurang paham dan cenderung tidak ambil peduli dengan dunia jurnalistik.
Tapi keadaan justru berbalik ketika berita yang disajikan mereka anggap menyinggung. Buntutnya, pers kena gugat di pengadilan. Padahal pihak yang merasa dirugikan dengan pemberitaan bisa meminta hak jawab. Pers Indonesia wajib melayani hak jawab seperti yang diamantkan dalam UU 40/1999 tentang Pers tepatnya pasal 5 ayat 2. Kalau media tidak mau melayani hak jawab, masyarakat bisa mengadu ke Dewan Pers. Segala pintu sebenarnya sudah tersedia bagi masyarakat, dan tentu saja gratis.
Hak jawab hanya diberikan media ketika berita itu sudah dimuat atau ditayangkan. Jika tidak disiarkan, otomatis masyarakat tidak bisa mendapatkan hak jawab.
Kewajiban seorang wartawan adalah liputan. mencari, mengumpulkan, dan mengolah data menjadi laporan jurnalistik. Eksekusi menayangkan berita bukan wewenang wartawan yang meliput. Hal itu menjadi hak penuh seorang pimpinan redaksi. Jadi sebuah liputan belum tentu bisa diberitakan. Alasannya beragam. Mulai dari ruang berita yang sudah penuh, data yang belum akurat, hingga berita yang rawan menimbulkan perpecahan bangsa.
Dengan alasan itu, tidak ada seorangpun yang boleh menghalangi wartawan meliput berita. Karena bisa saja berita yang didapat tidak ditayangkan/ dimuat. Jika dimuat dan masyarakat tidak suka, bisa menggunakan hak jawab. Bagaimana jika tidak dimuat tapi wartawan sudah terlanjur jadi korban penganiayaan?
Beberapa waktu lalu saat AJI Surabaya mendampingi Akbar Insani, fotografer Surabaya Pagi, melaporkan pelarangan terhadap dirinya ke Polwiltabes Surabaya oleh sejumlah satpam PLN Jatim, mendapati hal unik. Tim advokasi meminta petugas SPK (Sentra Pelayanan Kepolisian) untuk menggunakan pasal 18 UU 40/1999 tentang Pers sebagai undang-undang yang dilanggar para satpam.
Namun menurut petugas polisi yang piket, logika hukum harus menggunakan KUH Pidana dahulu, yaitu pasal perbuatan tidak menyenangkan. Hal pelarangan meliput, pasal 18 UU 40/1999 tentang Pers kemudian menyertai.
Jika masyarakat dibagikan salinan UU 40/1999 tentang Pers, bisa dipastikan mereka bisa membacanya. Tapi bagaimana mereka mampu memahami intisari dari undang-undang tersebut, itu yang menjadi masalah. Harus ada sebuah forum untuk menjelaskan kepada masyarakat. Apakah itu warga sipil ataupun aparat penegak hukum. Bahasa populernya, sosialisasi.
Lalu, siapa yang wajib melakukan sosialisasi UU 40/1999 tentang Pers? Jawabannya adalah insan pers sendiri. Jika pers peduli dengan pekerjaannya dan hak masyarakat mendapatkan segala informasi yang bermutu, maka jurnalis bersama dengan media tempatnya bekerja harus merasa perlu melakukan sosialisasi.
Jika pers lepas tangan, pelarangan, penganiayaan, dan pembunuhan terhadap jurnalis pasti akan terus terjadi. Wartawan akan dipandang sebelah mata oleh masyarakat, dan tidak punya wibawa.
Penganiayaan dan pelarangan liputan terhadap wartawan kembali terulang. Jika saat ini marak pelakunya adalah satpam, itu hanya kebetulan saja. Suatu saat bisa saja pelakunya adalah masyarakat sipil biasa. Pelarangan dan penganiayaan terhadap jurnalis akan terus terjadi jika kita sendiri hanya diam.
Sudah saatnya pers bangkit dan bergerak. Sosialisasi UU 40/1999 tentang Pers mutlak harus dilakukan oleh pers sendiri. Tidak selalu harus dalam sebuah forum besar dan formal. Penjelasan kepada masyarakat juga bisa dilakukan pada saat informal, waktu nongkrong di warung misalnya. Mengapa tidak?
Langganan:
Postingan (Atom)
jika hati bergetar,
andai darah mendidih,
rangkai kata kunanti
pada puisilombok@gmail.com
andai darah mendidih,
rangkai kata kunanti
pada puisilombok@gmail.com