Minggu, 08 Januari 2012

pengalaman pelatihan jurnalistik untuk tuna netra



Desember 2010 saya diminta kawan-kawan dari Lembaga Pemberdayaan Tuna Netra Surabaya untuk memberi pelatihan jurnalistik untuk sejumlah siswa SMP & SMA tuna netra. Saya langsung menyanggupi. Selain menantang, saya juga merasa bertanggung jawab membagi ilmu yang saya miliki. Saya juga merasa terpanggil untuk membantu kawan-kawan tuna netra untuk memberdayakan diri mereka sendiri. Dalam pelatihan ini, para orang tua/ wali diminta mendampingi anak-anak mereka. Tujuannya supaya para orang tua/ wali tahu apa yang dilakukan anak mereka. Bagi saya ini unik tapi masuk akal. Karena dari sejumlah pelatihan yang saya bimbing, orang tua tidak pernah dilibatkan.

Dulu, (kalau tidak salah) sekitar tahun 2006 kawan Iman pernah membantu para tuna netra memberi pelatihan jurnalistik. Usai memberi pelatihan Iman mengaku agak bingung waktu harus menjelaskan piramida terbalik. Hal yang sama saya alami meskipun beberapa kali saya sempat memberi pelatihan jurnalistik dasar untuk mahasiswa. Tapi khusus untuk teman-teman tuna netra, saya benar-benar ditantang dan diuji.

Awalnya saya minta para peserta untuk membayangkan sebuah segitiga sama kaki dengan sudut yang terkecil berada di bawah. Saya meminta ini karena saya tahu bahwa mereka juga belajar geometri di sekolah. Semua mengaku tahu bentuk segitiga sama kaki. Tapi waktu saya minta mereka untuk menempatkan sudut terkecil di bawah, semua terdiam. Tidak menjawab waktu saya tanya apakah mereka paham. Giliran saya yang terdiam karena bingung (hehehe).

Lalu saya memikirkan sesuatu yang pasti mereka pahami dan tidak akan pernah mereka tinggalkan. Celana Dalam. Ya! Saya minta mereka membayangkan celana dalam dengan bentuknya yang khas. Yaitu bidang lebar di atas dengan bidang bawahnya yang semakin mengecil. Saya sampaikan bentuk piramida terbalik kira-kira seperti itu. Saya lupa dulu bagaimana kawan Iman menjelaskan piramida terbalik. Ketika saya katakan itu, semua tertawa tidak terkecuali para orang tua yang mendampingi. Saya cuek saja, karena saya terdorong untuk berhasil menransfer ilmu kepada mereka.

Para peserta juga saya ajari untuk melakukan observasi. Bagi jurnalis dengan kondisi fisik normal (tapi jiwa belum tentu hehe) melakukan observasi sangat penting untuk melatih tidak memasukkan opini ke dalam tulisan. Observasi biasanya kita lakukan dengan semua panca indera terutama mata. Sedangkan para jurnalis tuna netra juga harus melakukan observasi. Tapi dilakukan dengan meraba menggunakan tangan. Idenya sama dengan membaca tulisan braille.

Saya membagian berbagai obyek kepada mereka. Masing-masing peserta harus mengobservasi obyek yang berbeda. Dalam melakukan observasi, saya minta mereka untuk diam tanpa bicara supaya tidak saling menggangu. Setelah selesai, satu persatu harus menggambarkan benda apa yang diamatinya. Saya merasakan, hasil observasi mereka berbeda dengan observasi kita. Karena mereka hanya bisa meraba, maka hasilnya pasti beda dengan kita. Misalnya saja, mereka tidak akan mampu mengatakan apa warna benda yang mereka amati.

Usai pelatihan, saya merasakan ejakulasi batin. Sangat memuaskan diikuti ekstase sangat tinggi dengan perasaan bangga tiada tara. Saya bangga boleh berbuat sesuatu untuk kawan-kawan tuna netra. Saya cuma ingin berbagi pengalaman saja tanpa ada hasrat menggurui teman-teman. Terimakasih teman-teman tuna netra. Terimakasih AJI.

1 komentar:

JudithNatalia mengatakan...

Mengharukan....



Robin Moyer pada 1982 memotret beberapa jenazah pengungsi Palestina yang dibantai di Beirut, Lebanon.
jika hati bergetar,
andai darah mendidih,
rangkai kata kunanti
pada puisilombok@gmail.com