Senin, 02 Februari 2009

SEPATU HITAM BERTALI PUTIH SOL PUTIH BERKOMBINASI BIRU MUDA MENYALA I

Surabaya, 4 Februari 2001

Sudah sekian tahun terdiam sepatu hitam bertali putih sol putih
berkombinasi biru muda menyala itu.
Di ufuk etalase toko megah itu aku berjongkok.
Seakan melambai minta dihampiri.

Tak ayal harus dipaksa kerja untuk cari uang
guna berupaya agar termilikilah sepatu pujaanku.

Aku ijabkan niatku bekerja di menguli bangunan menjadikan sebuah rumah
di kota sebrang dekat taman kota yang agak rindang.
Dan terkabul aku sebagai salah satu dari dua puluh kuli bangunan.

Tanpa sesal dan kesal aku mengucur peluh periang.
Kira-kira dua tahun baru selesai pembangunan rumah karena terhambat
mahalnya material bahan baku membuat rumah.
Nikmatnya tiada tara ketika kukantong honor terakhir, karena
yang satu ini berlampir bonus pak mandor ditegalkan kerjaku baik dan rapi.

Bergegas kupulang memacu laju kaki ke toko sepatu.
Mak!
Harganya naik! Uangku kurang! Aku bengong bingung.
Toleh kiri kanan bak ayam mabuk arak.
Lantas kularikan tubuh ini ke rumah paklik berguna cari pinjaman
barang dua ribu saja.
Di rumah,
paklik sedang pergi, dan bulik tak kuasa pinjammi uang.

Lantas kularikan tubuh ini ke rumah pakde berguna cari pinjaman
barang dua ribu saja.
Di rumah,
pakde sedang sakit dan seluruh bea konsentrasi pada pakde.

Lantas kularikan tubuh ini ke rumah pak RT berguna cari pinjaman
barang dua ribu saja.
Di rumah,
pak RT merenungi nasib diri diPHK. Tak etis kalau pinjam uang.

Lantas kularikan tubuh ini ke rumah pak guru berguna cari pinjaman
barang dua ribu saja.
Di rumah,
pak guru telah saja membeli sepeda baru, jadi uangnya agak sat.

Agak asa hampir putus
kularikan tubuh ini ke rumah adik berguna cari pinjaman
barang dua ribu saja.
Girang rianya adik punya, bersedia merela dipinjam barang
dua ribu saja.

Terakhir kali aku menyeribu langkah ke toko sepatu.
Tak pelak tiada terkira rianya
saat sukses tergenggam
sepatu hitam bertali putih, sol putih berkombinasi biru muda menyala.

Tidak ada komentar:



Robin Moyer pada 1982 memotret beberapa jenazah pengungsi Palestina yang dibantai di Beirut, Lebanon.
jika hati bergetar,
andai darah mendidih,
rangkai kata kunanti
pada puisilombok@gmail.com