Rabu, 10 September 2008

Aku Bangga




Surabaya, 6 Januari 1999

Telah cukup muak kulihat tingkahnya
Telah cukup kupendam luka
Telah kurasa kecewa
Telah muak kudengar bingar
Perginya membuat rumah gusar

Mabuknya tak jua sadar
Tinjunya memarkan hati pedih
Pergaulannya kadikan mataku putih
Lantam teriakannya tak lagi cintaku masih
Habislah aku

Tersungkur dalam bunga tidurku
Kusayat urat nadi merintih aku pilu
Kuteteskan air mata darah
Bahkan mimpipun aku gundah
Tolonglah, Gusti, sudah!

Hari-haripun terasa panas
Darah mendidih kepalaku pecah hati terlibas
Badan rasanya sepuluh tigapuluh truk melindas
Tapi sang bocah keparat ini tampak tenang
Si durhaka bagaikan pesta tampaknya selalu girang

Tak peduli biar jungkir balik ayahnya mengerang
Akan kutungu dan kuhitung
Biarlah rasa manusiaku kulepas dulu kugantung
Putih dan hitamku bertarung
Satu, dua, tiga. Tak mungkin mengelak dapat

Sudah, sudah, sudah kubabat
Biarlah lehernya menganga terteas gobang keramat
Darah merah melumuri tubuh
Karam sudah kapal tak lagi labuh
Karena telah remuk tak utuh

BALADA KLEPON



Surabaya, 4 Juli 1998

Tiap kali ayah bawa klepon sepolang kerja,
selalu tiga bungkus kulalap habis.
Setiap kali ayah tanya oleh-oleh apa
kujawab satu kata, klepon

Ibu, buatkan dong anakmu klepon yang banyak
untuk nonton tivi nanti sore.
Anggukan mesra ibu tanda ya.
Senang aku ternyata ibu bisa buat klepon

Amat lekas sekali ibu memasaknya
bagaikan sekejap langsung klepon siap.
Air liurku banjiri mulut
harus kutahan hingga acara nanti sore.

Hampir tiap hari
aku minta dibuatkan.
Sepertinya aku kecanduan klepon.
Sepertinya klepon yang mengalir di darahku.

Lalu aku pikir, bila ibu tak ada di rumah
siapa yang buatkan klepon?

Mau beli kini yang jual jauh.
Mau beli kini kleponnya kecil-kecil, tak puas.

Kutanya ibu resep dan cara masaknya.
Mudah bahannya bisa didapat di pasar.
Aku belanja bahannya
dan sore in iaku belajar buat klepon bersama ibu.

Asyik, kini kunikmati klepon buatanku
rasanya tak kalah dengan buatan ibu.
Kunikmati sambil nonton kartun
sekali gigit rasanya seperti di surga.

Kini tiap hari kubuat klepon sendiri.
Kunikmati tak ada yang ganggu
tegal yang lain tak suka klepon
tegal yang lain suka klanting

Tapi kini aku agak risi
tegal kakak ikut nimbrung.
cawe-case ngudek adonan
cawe-cawe ngoplos bahan.

Tak cukup kakak yang ikut
Budhepun turut
Paklik juga serta
Mbahkung tertarik terus ngudek-ngudek
entah mengapa esoknya
Pak Koliq, tetanga belakang urun
istrinya melu
pembantunya apa lagi.

Budhe yang saring tepunnya
Paklik masak gula jawa
Mbahkung cari pandan
lal uberi warna ungu pada kleponnya.

Pak Koliq yang ngudek
istrinya yang nyicipi
pembantuny ayang masak air
lalu nggodog.

Kucicipi,
Bah! Rasanya bagai neraka.
Gula terlalu banyak.
Warnanya ungu pula.

Sebel aku akan klepon kini.
Tak ingin kusentuh klepon
walau ibu buat
walalu oleh-oleh ayah.
muak dengan kata klepon
melintas di telinga.
Pun mual perut ingin muntah
bila cium aroma klepon

Durjana!


Robin Moyer pada 1982 memotret beberapa jenazah pengungsi Palestina yang dibantai di Beirut, Lebanon.
jika hati bergetar,
andai darah mendidih,
rangkai kata kunanti
pada puisilombok@gmail.com