Minggu, 24 Oktober 2010

TAPE PAK SENO



Surabaya, 22 Oktober 2010

Sore itu Pak Seno makan sego sadukan di emper Sogo.
Pikulannya diletak begitu saja di bawah.
Dia kelihatannya menikmati nasi-nasi terakhir.
Monggo, Mas.” sapanya ke aku
Kubalas dengan senyum, ”Monggo

Sambil sesekali melihat lalu lalang mobil menurunkan naik majikannya ke dari Sogo
Suapan teerakhir disodok ke dalam mulutnya.
Lalu dia melongok ke logo Sogo menjulang di atasnya
Dia menoleh ke belakang
Beberapa orang duduk berhadapan minum kopi dan rokokan di Starbucks

Aku jelas tidak tahu apa yang melintas di benaknya
Tapi keliahatannya, dia sangat menikmati sesapan suap terakhir itu.

Dalam pikulannya
Mungkin jualan tape dibungkus daun pisang
Dari bungkusnya, sudah menguning.
Ujung-ujung daun mengering pula.
Beberapa hari kelihatannya belum laku.

Aku pastikan dia jualan apa itu.
Pak Seno bilang tape ketan.
Bikin sendiri di rumahnya di Benowo.
Dijaja sendiri keliling Surabaya.
Kalau habis pasti pulang.

Aku beli dua bungkus saja.
Empat ribu.
Karena aku penasaran.
Karena juga aku kasihan.

Sudah dikurangi dua.
Di pikulannya masih menimbun.
Aku tak tertarik beli semua.

Sekarang aku sudah di teras.
Sudah mandi dan selesai makan.
Hirau semua sekarang aku mau tape Pak Seno

Bungkus terbuka suaranya berderak
Ujung kering patahan berjatuh
Aromanya mengepul menusuk hidung
Liur ini tak berhenti mendesak meluap
Aku yakinkan sesuap masuk dalam mulut

BAH!
Rasanya asem!
Bukan busuk, tapi
Rasanya asem!

Ini tape pikulan Pak Seno
Orangnya kecil tidak sebesar Seno seharusnya
Tidak ada kumis senangkring Seno selayaknya
Bukan kekar seperti Seno adanya

Tapi
Seno yang asli kalah garang
Seno yang punya kuku pancanaka tidak nyata
Seno yang Bima pernah mencibir Samiaji

Seno yang ini lebih ganas menaklukkan hidup
Seno yang jualan tape, tidak angkuh
Seno yang ini benar-benar ada

Jumat, 22 Oktober 2010

LEMBAR TERAKHIR



Surabaya, 22 Oktober 2010

Lembar-lembaran ini tinggal yang terakhir di kantongku
Tinggal lima ribu

Aku tidak mau peduli besok.
Aku cuma perlu sabun mandi.
Selebihnya kubelikan snack untuk anakku
Biar dia sedikit gembira

Sesaat aku bisa melupakan bebanku
Pinsan dari sadar kalau besok matahari masih akan terbit

Baru kali ini aku bisa tertawa meskipun akan tidak punya uang
Ini ingin sekali kupunya terus-terusan

Pergi ke toko dia minta gendong
Sendepel di pundak kiri
Aroma rambutnya melecut hidung
Kibasan helainya membuat tenang hidungku

Dia minta biskuit coklat satu bungkus kecil
Tidak mau dua
Tidak mau yang lain
Satu saja

Pulangnya tetap saja minta digendong
Sambil menyanyi lagu yang dia karang sendiri
Nada sesukanya
Bahasanya tidak jelas
Cenderung mirip bahasa planet lain
Terus sendepel di pundak kiri

Tapi maknanya dalam menusuk paru-paru
Masuk dari telinga mengalir dalam darah
Pesan lagunya menggugah hati yang hancur
Coba dengar kalau tidak percaya ...

Ini memang tidak membuat lembaran uangku yang sudah punah, jadi lestari
Tapi aku tetap tidak peduli
Kenapa bisa?
Aku tidak mau tahu!

Minggu, 17 Oktober 2010

SUAP


Surabaya, 19 Mei 2010

Suap bukan keratabasa, ndelok susu cangkeme megap-megap,
tapi ndelok duwik lambene mangap
tapi kesusu mangap yang membuat idealisme menguap

Suap dalam amplop
untuk kamu.
Supaya kesepakatan tak terucap ini, klop!

Suap kumasukkan kantongmu biar kamu bicara bohong!
Biar faktanya bolong-bolong!
Lantas beritamu kosong!
Supaya hidupmu ompong!

Tapi jangan lupa, uang ini bakal bikin dompetmu tenang!
Duit ini memang sengaja bungkam kamu supaya tidak lantang!

Awas ya!
Kalau tidak diterima,
nyawamu MELAYANG!


Robin Moyer pada 1982 memotret beberapa jenazah pengungsi Palestina yang dibantai di Beirut, Lebanon.
jika hati bergetar,
andai darah mendidih,
rangkai kata kunanti
pada puisilombok@gmail.com