Selasa, 25 November 2008

Tak Perlu Larang Jurnalis



Akhir-akhir ini marak kejadian menyedihkan yang menimpa jurnalis kita. Mulai dari statemen Kapolda Sulselbar Irjen Pol. Sisno Adiwinoto yang mendorong semua pihak untuk melaporkan kepada polisi terhadap hasil karya jurnalistik para jurnalis yang tidak berkenan. Pernyataan ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang-undang nomor 40 tahun 1999 yang juga sekaligus menerangkan tentang mekanisme hak jawab.

Menurut undang-undang tersebut, seseorang atau sebuah institusi yang merasa pemberitaan tidak sesuai fakta, bisa meminta hak jawab pada media tersebut. Hak jawab memuat klarifikasi dari narasumber yang merasa dirugikan atas pemberitaan tersebut.

Dalam Undang-undang itu jelas-jelas disebutkan, sengketa jurnalistik tidak bisa masuk pada ranah kriminalitas melainkan murni jurnalistik. Untuk itu penyelesaiannya juga harus proporsional. Luka tertusuk peniti, tidak perlu kemo terapi kan?

Tak lama berselang, tepatnya pada Sabtu (22/11) malam, terjadi insiden memalukan yang dilakukan oleh seorang oknum polisi terhadap seorang jurnalis televisi di Surabaya. Dalam peristiwa penertiban pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Dharmawangsa, terjadi penangkapan 2 mahasiswa oleh polisi lalu lintas Polres Surabaya Timur. Saat penangkapan, mahasiswa sempat dipukul oleh oknum polisi itu.

Ketika Nico Leopold, koresponden Trans TV mengambil gambar tersebut, si oknum tadi menampar kamera Nico. Nico dan jurnalis lain berusaha bertanya pada itu si oknum, mengapa ia menampar kamera Nico. Sayang, hingga Minggu (23/11) malam para jurnalis belum mendapat jawaban apapun dari oknum tersebut.

“Saya hanya ingin menanyakan, mengapa dia menampar kamera saya.” ungkap Nico dengna nada kesal saat melapor insiden ini pada AJI Surabaya.

Untuk diketahui, menghalang-halangi jurnalis dalam melakukan peliputan, melanggar pasal 18 UU 40 / 1999 tentang Pers. Hukumannya cukup “menggiurkan”, penjara maksimal 2 tahun atau denda setengah milyar rupiah.

“Tapi Anda juga harus maklum pada SDM yang dimiliki Polisi. Ada yang lulusan Sarjana, SMA, bahkan SMP.” kilah AKP Hartoyo, Kasat Reskrim Polres Surabaya Timur.


Hati-hati

Sebagai seorang korban kekerasan terhadap jurnalis, saya mengajak teman-teman jurnalis untuk selalu berhati-hati dalam setiap melaksanakan tugas peliputan. Kita juga harus wapada terhadap kemungkinan terjadinya chaos atau keributan.

Paradigma lama menyebutkan, daerah teraman jika terjadi kericuhan adalah di belakang barikade polisi. Tapi nampaknya hal itu sudah tidak relevan lagi. Sebab beberapa pihak yang terlibat bentrok dengan polisi atau petugas keamanan, kini sudah berani melawan dengan cara apapun. Termasuk melempar batu (mungkin juga granat kalau punya).

Saya memang belum punya pengetahuan tentang safety jounalist, tapi dari pengalaman di lapangan, setidaknya kita bisa melakukan pemetaan daerah mana yang kiranya aman untuk mengambil gambar. Apa perlu berada di tempat yang lebih tinggi atau mengenakan pelindung tubuh? Itu semua harus kita pikirkan sebelum liputan. Bukan saat berada di TKP dan hendak mengambil gambar. Jika itu terjadi, bisa saja kita berpredikat “jurnalis tak peka TKP”


Pemahaman UU 40 / 1999 tentang Pers

Saya sungguh sangat menyesalkan tindakan oknum yang melakukan penamparan (atau apalah namanya) pada Nico. Polisi yang seharusnya menegakkan Undang-undang tersebut, malah memilih menjadi pelanggar.

Lalu apa saja yang termasuk dalam butir pelarangan meliput?
“Bahkan menutupi lensa kamera saja, termasuk menghalang-halangi pekerjaan jurnalis saat meliput.” kata Andreas Wicaksono, anggota AJI Surabaya.

Pekerjaan jurnalis adalah menyajikan rangkaian fakta menjadi sebuah karya jurnalistik yang kemudian disajikan untuk keperluan masyarakat. Jurnalis adalah wakil masyarakat. Pasti tidak mungkin SBY memberi keterangan pada seluruh rakyat Indonesia. Maka jurnalis mewakili masyarakat hadir dalam event tersebut untuk mendapatkan fakta-fakta faktual.

Jika jurnalis dihalang-halangi dan dilarang meliput sebuah peristiwa, maka secara langsung hal itu menghalangi masyarakat mendapatkan sebuah kebenaran. Apa Anda mau dilarang tahu?

Belum tentu juga sebuah persitiwa yang diliput akan dimuat di media tempat jurnalis itu bekerja. Bisa saja karena nilai beritanya kurang, berita itu tidak dimuat/ ditayangkan.

Tapi jika berita itu dimuat di media dan ternyata tidak sesuai kenyataan, narasumber bisa meminta ruang untuk sebuah hak jawab. Hak jawab merupakan hak masyarakat. Jika masalah terus bergulir, silakan melaporkan media tersbut pada Dewan Pers. Bukannya melaporkan ke Polisi.

Physically, pisau bisa membunuh Anda. Apakah tulisan bisa?

Minggu, 16 November 2008

Gatot Emje Pembuat Sketsa Wajah Amrozi



Dari sekian banyak pihak yang puas atas tuntasnya kasus bom Bali 1, seorang kartunis Surabaya termasuk salah satunya. Gatot Mudjito alias Gatot alias Gatot Emje alias Pak Gem, terlibat dalam tim investigasi bom Bali 1. Gatot terlibat sebagai pembuat sketsa wajah dua orang yang saat itu diduga kuat sebagai dalang tewasnya ratusan orang. Keahlian Pak Gem dimanfaatkan polisi dalam mengungkap salah satu kasus terorisme terbesar di Indonesia.

Di tengah kerutan wajah tuanya, Pak Gem tak kehilangan rasa humornya, seperti yang terpapar pada kartun-kartunnya. Ia tetap ceria di usianya yang mulai senja menginjak 61 tahun. Ingatannya masih tajam setajam goresan tintanya menyorot problem sosial yang terjadi di tanah air dan dunia.

Salah satu peristiwa yang tidak bisa lepas dari ingatannya adalah ledakan bom di Bali. Betapa tidak kakek empat cucu ini tidak pernah membayangkan akan terlibat dalam mengungkap dan turut menuntaskan kasus nasional bertaraf internasional itu.

Sehari setelah bom menewaskan 200 orang lebih di Paddy’s CafĂ© dan Sari Club, Bali, tim Polda Jatim menjemput mantan kartunis harian sore Surabaya Post ini menuju Bali. Gatot tiba di sebuah hotel di Bali jam 6 sore. Ia dipertemukan dengan seorang saksi yang menurut polisi melihat orang yang dianggap mencurigakan tampak lalu lalang di sekitar TKP (Tempat Kejadian Perkara) sebelum bom meledak.

Gatot yang OD (Out Dewe) dari ASRI, Akademi Seni Rupa Indonesia, ini terkekeh ketika mengingat lelahnya saat membantu polisi membuat sket. “Saya kerja 6 jam membuat sket. Orang pertama yang kemudian saya tahu namanya Amrozi selesai dalam 4 jam.” kenang Gatot. Pembuatan sket dilanjut tanpa istirahat. Ia dihadapkan dengan saksi lain untuk membuat sket wajah seorang lagi yang agak gemuk. Belakangan ia baru tahu kalau ia membuat sket wajah Idris.

“Yang khas dari Amrozi adalah mukanya lonjong, mata cekung, rambut panjang. Kalau Idris agak gemuk. Paling sulit membuat mata, tapi akhirnya berhasil juga. Hehehe” kata Gatot.

Dua minggu berselang, Amrozi benar-benar tertangkap. Tim Polda Jatim kembali menjemputnya untuk lagi-lagi membuat sket wajah. Gatot mengaku kaget ketika melihat saksi yang akan memberikan keterangan padanya untuk membuat sket, ternyata adalah Amrozi. Sejenak ia mengaku canggung. “Apa dia mau bicara ya? Dia kan tersangka utama.” kisah Gatot

Dengan pengalamannya membantu Polisi sejak tahun 80an, ia mulai membuat sket wajah Idris, seperti yang ia lakukan di Bali, dengan menanyai Amrozi. Menurut Gatot, Amrozi tidak banyak bicara, tapi memberi keterangan dengan tepat. Buktinya setelah sket selesai, hasilnya tidak jauh beda dengan yang ia buat di Bali.

Setelah Amrozi Cs telah dieksekusi dan kasus bom Bali 1 dinyatakan ditutup, Gatot salah satu orang yang bernafas lega. Meski tidak dapat melupakan momen membanggakan itu—membantu polisi mengungkap kasus keji itu—namun Gatot Mudjito alias Gatot alias Gatot Emje alias Pak Gem enggan mengingat-ingat wajah Amrozi. Ia berusaha keras melupakan sketsa yang pernah ia buat, maupun wajah asli Amrozi terpampang luas di media massa nasional dan internasional. “Wah saya sudah lupa tuh.” lanjutnya sambil terkekeh.

Rasa bangga menyelimuti laki-laki tua yang murah senyum ini. Ia patut berbesar hati karena goresannya mampu membantu mengangkat martabat bangsa Indonesia di panggung internasional, karena berhasil menangkap pelaku terorisme.

Jumat, 14 November 2008

SUMPAH IBLIS

Surabaya, 16 November 1999



Kami, Iblis hamba neraka,
kali pertama menangis melihat ulah manusia
mengiris jantung saudaranya
menyayat lidah tetangganya
menggorok tenggorokan temannya
mencacah perut gurunya
merampok rumah ibadah
menjarah kebanggaan
meruntuh tempat bersujud
menohok tunas kerabat dekatnya
melahap yang betul-betul melahap
darah lawan tak berdaya

Kami, Setan laskar neraka,
kali pertama miris menyaksi bangganya
manusia sembunyi berselimut
kain dua warna

kali pertama enggan melihat nikmatnya
manusia melahap usus korbannya
dimasak mimakan bersama
dikata rasa asli segurih madat

Kami, Berkasak pengacau dunia,
kali pertama muak melihat
keperkasaan jantan manusia tutupi
sejarah hitam bangsa
tuduh sejawat paling tanggung atas jawab peristiwa
terjadi nusantara lolong berpilu

Kami, Jin benteng pertahanan neraka,
kali pertama merasa tertandingi
aksi manusia berbangga menyeringai riang
bermata putih menombak dada wanita tua disaksi cucu
balita menangis serak suara daya tiada bersimpuh
air mata lumuri pertiwi meronta


Kami, segenap hamba neraka raya,
berani bersumpah demi raja junjungan kami
bahwa kami belum pernah diperintah
menghasut manusia berkeji raja tega
seperti yang kami saksikan baru saja.



Sambas – Ambon – Timor Leste

Kamis, 13 November 2008

AKULAH BINATANG

Surabaya, 24 November 1998


Aku riang gegap gempita ketika kudengar kabar
ada yang tertumbuk di sana.
Aku rasa senangbukan kepalang saat berita tersiar
ada yang terhujam bayonet di sana.
Sekali lagi aku gembira waktu laporan bicara
ada yang dihujani gebukan buluh rotan di sana
Aaaah….. betapa hiburan yang romantis.

Akulah raksasa.
Siluman bertubuh besar, gergasi berambut api,
bertanduk sembilan.
Rautku bengis seram merah padam
dengan taring-taringku runcing ganas buas menyeringai.

Akulah binatang.
Selalu lapar daging segar manusi
dan darahnya yang merah menggiurkan.
Senantiasa haus akan tangis manusia
yang memohon belas kasihanku.
Aku selalu rakus untukmenghisap sumsum
dan otak manusia yang anyir nan lezat.

Tanganku bagaikankarang ini,
tak akan ada yang bisa menghentikan untuk selalu menggocoh.
Amukanku bak topan badai ini,
akan menyingkirkan semua pembendung congkakku.
Nafsuku yang sekeras baja ini,
tak akan ada yang menerobos tembus.
Kakiku yang sedasyat letusan Krakatau,
selalu siap melantak segala penghalang nafsuku.

Akulah Raksasa!
Akulah Binatang!
Ha Ha Ha
Ha Ha Ha
Ha Ha Ha

Selasa, 11 November 2008

Dimakan Monyet, Diminum Orang



Penemuan sirup bogem dari bakau jenis Soneratea alba oleh Mochson benar-benar mengejutkan semua orang. Selama ini mangrove hanya dikenal sebagai tanaman penjaga daratan dari abrasi. Namun di tangan Soni, panggilan Mochson, hutan mangrove bisa diminum.

Soni mengaku prihatin pada buah bogem yang hanya terbuang percuma, selain dimanfaatkan untuk reboisasi. Buahnya yang jatuh hanya dibuat main lempar-lemparan oleh anak-anak.

Warga sekitar juga enggan terus-terusan ngerujak buah bogem karena rasanya yang sangat masam. Malah cenderung pahit saking masamnya.

Lama merenung sambil memandangi hutan mangrove, ia melihat sekumpulan kera di rerimbunan hutan mangrove. Awalnya Soni mengira primata-primata itu hanya bercengkrama saja. "Setelah saya amati, kok ada yang memakan buah bogem." katanya.

Soni bersimpulan buah bogem aman dikonsumsi. Rasa penasarannya membuat kakek satu cucu ini mencari informasi tentang pemanfaatan buah Soneratea alba. "Bogem ternyata dimakan juga oleh orang Kalimantan dan Bali. Ada yang dibuat rujak." tuturnya.

Ia ingin membuat sesuatu yang berbeda dari pemanfaatan bogem. Kalau dibuat rujak, tentu sudah biasa. Lalu dimulailah sejumlah eksperimen dengan buah eksotis ini. Membuat sari buah atau jus pernah dicobanya. Menurut Soni, rasanya segar. sayangnya jus tidak mampu bertahan lama.

Dasar penjuang, semangat Soni tidak patah. Ia lalu mencoba mengolah buah bogem jadi sirup. Hasilnya luar biasa. Rasa masam dan manis bersekutu di lidah membuat kerongkongan segar begitu dialiri hutan cair ini. Aroma mangrove yang khas dengan rasanya yang berani, sangat cocok untuk iklim tropis. "Ini oleh-oleh khas Surabaya." klaim Soni.

Kini pemanfaatan buah bogem tidak hanya untuk sirup saja. Dua produk olahan lain telah dihasilkan Soni. Antara lain jenang atau dodol bogem, dan cuka bogem. Jenang bogem bernuansa masam dan sepat yang menghiasi rasa manis jenang. Bagi yang suka pengalaman baru, ada baiknya mencicipi jenang khas Surabaya ini.

Kamis, 06 November 2008

Pengalaman Pertama


Ini kali pertama saya ikut lomba jurnalistik. Sebenarnya banyak ajang lomba jurnalistik yang diadakan berbagai lembaga, termasuk AJI (Aliansi Jurnalis Independen). Tapi tidak banyak yang mengakomodasi jurnalis TV.

Kebetulan sekali Sampoerna mengadakan Anugerah Adhiwarta Sampoerna 2008 yang melombakan beberapa katagori media, termasuk televisi. Saya pikir ini peluang emas untuk ikut.

Berharap menang itu pasti. Menang kan harapan semua orang. Tapi yang lebih penting adalah pengalaman ikut lomba.

Untuk materi lomba, saya mengangkat Mochson, si penanam hutan mangrove di kawasan Wonorejo, Surabaya. Liputan berbentuk profil, sudah ditayangkan di Seputar Jatim (RCTI) dan Lintas Jatim (TPI) pada Rabu (27/8) lalu. Kira-kira isi beritanya bisa Anda simak di posting sebelumnya.

Untuk membuat liputan ini, saya bela-belain pinjam kamera teman, yang hasilnya jauh lebih bagus daripada handycam mungil yang sehari-hari saya pakai untuk liputan. Bukannya tidak pede kalau tidak pakai kamera sendiri. Tapi sekadar ingin dapat hasil yang prima.

Saya berharap dapat mencantumkan prestasi saya—jika menang— di Curriculum vitae saya. Ini tentu saja dapat menambah nilai plus saat bagi saya dan media tempat saya bekerja, juga bagi wadah tempat saya berserikat di AJI Surabaya.

Saya berharap bantuan doa dari teman-teman dan para penikmat LOMBOK! Agar saya dapat mengukir prestasi di ajang lomba bergengsi ini. Terimakasih, Tuhan senantiasa memberkati semua usahana baik kita.

Rabu, 05 November 2008

Diajari sampah, Soni hutankan mangrove



Kerut di wajahnya belum juga nampak. Iapun masih lincah saat bermanuver menggunakan sepeda motor di pematang tambak. Tapi Mochson yang akrab disapa Soni benar-benar sudah kakek satu cucu.

Soni bukanlah warga asli Wonorejo. Karena alasan pekerjaan, dia kini berdomisili di Wonorejo dekat gardu induk PLN. Ia karyawan sebuah pengembang sekaligus salah satu warga perdana di sana.

Setiap ada waktu senggang pemilik kumis tebal ini menyusuri pinggiran sungai Surabaya atau kali Londo—demikian warga menyebut— hingga muara sungai menggunakan perahu bersama beberapa nelayan dan warga Wonorejo. Ia bermaksud menanami pesisir dengan bakau untuk mencegah abrasi.

Sejak 2004 lalu bapak 3 anak ini getol menanami pematang tambak, bibir sungai, hingga pesisir pantai dengan bibit Soneratea alba atau bogem. Untuk jenis tanaman yang satu ini, ia punya metode khusus temuannya sendiri. Metode rumput kering.

Tidak sulit kok. Biji buah bogem dimasukkan dalam ikatan rumput kering. Tujuannya agar biji tidak berhamburan keluar jika tersapu ombak. Dalam satu gumpalan rumput kering, Soni memasukkan sekitar dua puluhan biji. Akar bakau yang tumbuh nantinya akan mempunyai pegangan. Lalu rumput berisi biji bogem tadi ditanam dengna cara membenamkan ke dalam tanah.

Sebelum menggunakan metode ini, bibit bogem yang ia tanam selalu gagal. Alias layu sebelum berkembang bin hidup cepat mati muda. Saat itu ia menggunakan metode primitif, dengan langsung menanam biji ke dalam tanah.

Anehnya banyak tunas justru tumbuh dari sela-sela sampah yang mampir di pesisir sungai akibat terbawa ombak. “Dari pengamatan itu, muncul ide menggunakan metode rumput kering.” kata Soni.

Menurut Soni, bogem tidak cocok dibiakkan dengan stek. Stek membuat pertumbuhan bogem sangat lambat dan bodinya kurus. Hasil yang kurang baik juga terjadi pada pembibitan dengan menggunakan polybag.

Dengan metode baru temuannya ini, ia yakin mampu menghasilkan bakau yang punya daya bertahan hidup yang cukup tinggi di tengah ganasnya terpan ombak. Ini sudah terbukti dengan ratusan bogem yang kini tumbuh kokoh menahan daratan di pesisir sungai.



Bogem untuk penghijauan?

Menurut pengamatan laki-laki kelahiran Bojonegoro 54 tahun silam ini, bogem punya karakter kuat. Yaitu bisa tumbuh di luar habitat aslinya. Jenis bakau yang bentuk buahnya sangat eksotis ini, juga mampu hidup dalam kondisi salinitas air yang minim, meski hal itu dibutuhkan semua jenis bakau.

Yang menggiurkan, buah bogem yang aromanya sangat menggugah selera ini juga bisa dimanfaatkan menjadi beberapa produk bernilai ekonomi tinggi. Buah bogem bisa diolah menjadi sirup, dodol, dan cuka.

Bogem menjadi satu-satunya buah tropis yang mengandung vitamin A, C, sekaligus beryodium tinggi. Dan berfungsi sebagai anti oksidan. Menurut warga sekitar, bogem mampu mengobati diare, batuk, hingga mencegah stroke.

Hal ini yang dipakai Soni untuk merubah pola pandang pemanfaatan bakau oleh warga sekitar. “Maksud saya biar masyarakat itu tahu manfaat buahnya, dan mengubah pola mereka dari menebang pohon menjadi memetik buah.” harap Soni.

Upaya Soni menanam bakau sejak 10 tahun lalu cukup membuahkan hasil. Sekitar 100 hektar lahan terabrasi berhasil ia tanamai berbagai jenis bakau.

Namun mantan pegawai Badan Pertanahan Nasional Bojonegoro yang juga pernah jadi tukang foto keliling ini, masih punya “pekerjaan rumah” yang menumpuk. Dari sekitar 350 ribu hektar kawasan hutan mangrove, masih ada 25 hektar lahan kosong yang belum tertanami.

Ini bukanlah pekerjaan mudah. Mengingat hasil menanam tidak bisa dilihat hanya dalam 1 atau 2 hari saja. Sambil menunggu hasil tanam, Soni selalu cemas karena ancaman ombak mengikis daratan bukan ilusi. Ombak yang menggerogoti daratan bisa merobohkan tanaman bakau yang masih muda.

Belum lagi ada kecurigaan masyarakat pada aktivitas penghijauan hutan mangrove yang dilakukan Soni. Betapa tidak, Soni yang terkenal sebagai penanam hutan mangrove juga tercatat sebagai pegawai sebuah pengembang perumahan.

Ibarat serigala berbulu domba, bisa jadi kepeduliannya terhadap hutan mangrove hanya balutan cantik agar daratan terjaga. Sehingga daratan untuk pembangunan perumahan selalu tersedia.

Soni tampak tidak sewot dengan kecurigaan ini. Ia membeberkan, aktivitasnya menghutankan mangrove mendapat donasi dari koceknya sendiri “Kecurigaan itu dari dulu sudah ada. Sejak awal penanaman, tidak ada pihak yang menyandang dana.” jawabnya enteng.


Robin Moyer pada 1982 memotret beberapa jenazah pengungsi Palestina yang dibantai di Beirut, Lebanon.
jika hati bergetar,
andai darah mendidih,
rangkai kata kunanti
pada puisilombok@gmail.com